MAKALAH PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
SEMESTER I
DI SUSUNOLEH:
SITI DEWI AISAH (16710650002)
FAKULTAS
TEKHNOLOGI INDUSTRI
PRODI
TEKNIK INFORMATIKA (PAGI)
Semester i
DOSEN
PEMBIMBING;
DRS.
H. AHMAD CHAIDIR, LC. M.HUM
UNIVERSITAS SATYAGAMA
KATA
PENGANTAR
Bismillahir-Rahmanir-Rahim
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam. Rahmat dan keselamatan semoga senantiasa dilimpahkan Allah Kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta para pengikutnya yang setia hingga hari pembalasan kelak. Dan tak lupa kami bersyukur atas tersusunnya Makalah kami yang berjudul Sumber Hukum-Hukum Islam( Al-Qur’an dan Al-Hadits ).
Tujuan
saya menyusun makalah ini adalah tiada lain untuk memperkaya ilmu pengetahuan
saya semua, dan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Dengan terselesaikannya makalah ini, maka tidak lupa saya mengucapkan terimakasih kepada pihak- pihak yang berperan dalam membantu penyusunan makalah ini hingga selesai seperti saat ini.
Dengan terselesaikannya makalah ini, maka tidak lupa saya mengucapkan terimakasih kepada pihak- pihak yang berperan dalam membantu penyusunan makalah ini hingga selesai seperti saat ini.
Akhir kata saya mengharapkan adanya kritik dan saran atas
kekurangan kami dalam penyusunan makalah ini, dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan berguna khususnya bagi Mahasiswa Universitas Satyagama.
Jakarta,
Desember 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Katan Pengantar............................................................................... I
Daftar
Isi........................................................................................... II
Bab I
(Penciptaan Manusia, Alam Semesta, Dan Agama).............. 1
A.
Manusia.......................................................................................
1
B. Alam
Semesta............................................................................. 7
C.
Agama....................................................................... 11
Bab II
(Agama Islam)........................................................ 13
1. Pengertian...............................................................
13
2. Karakteristik Agama Islam...................................... 16
3. Fungsi, Tujuan & Cita-cita Islam............................. . 17
4. Klasifikasi Agama Islam....................................... ... 18
5. Ruang Lingkup Ajaran
Islam................................... 21
6. Agama Islam & IPTEK...........................................
25
7. Tokoh Islam yang Berpengaruh
Perkembangan IPTEK . 26
Bab III
(Sumber Ajaran Islam).......................................... 28
1. Al-
Qur’an................................................................ 28
2. Hadits/ As-sunnah.................................................... 29
3. Ijtihad....................................................................... 30
Bab IV
(Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Warisan).............. 32
A. Sejarah Hukum Waris ...............................................
32
1. Kewarisan pada Zaman Pra
Islam............................... 35
2. Kewarisan Pada Masa Islam.......................................
39
B.Tujuan Diturunkan Ayat-ayat Waris........................... 42
Bab V
(Mukahat Dan Pernikahan)........................................... 44
1. Nikah............................................................................ 44
2. Talak............................................................................. 57
3. Iddah............................................................................
61
Daftar
Pustaka...........................................................................
64
BAB I
PENCIPTAAN
MANUSIA, ALAM SEMESTA DAN AGAMA
A. MANUSIA
1.
Pengertian Manusia Menurut Pandangan Islam
Manusia dalam pandangan kebendaan (materialis)
hanyalah merupakan sekepal tanah di bumi. Manusia dalam pandangan kaum
materialism, tidak lebih dari kumpulan daging, darah, urat, tulang, urat-urat
darah dan alat pencernaan. Akal dan pikiran dianggapnya barang benda, yang
dihasilkan oleh otak. Pandangan ini menimbulkan kesan seolah-olah manusia ini
makhluk yang rendah dan hina, sama dengan hewan yang hidupnya hanya untuk
memenuhi keperluan dan kepuasan semata.
Dalam pandangan Islam, manusia itu makhluk yang mulia
dan terhormat di sisi-Nya, yang diciptakan Allah dalam bentuk yang amat baik.
Manusia diberi akal dan hati, sehingga dapat memahami ilmu yang diturunkan
Allah, berupa Al-Qur’an menurut sunah rasul. Dengan ilmu manusia mampu
berbudaya. Allah menciptakan manusia dalam keadaan sebaik-baiknya (at-Tiin :
95:4). Namun demikian, manusia akan tetap bermartabat mulia kalau mereka
sebagai khalifah (makhluk alternatif) tetap hidup dengan ajaran Allah (QS.
Al-An’am : 165). Karena ilmunya itulah manusia dilebihkan (bisa dibedakan)
dengan makhluk lainnya, dan Allah menciptakan manusia untuk berkhidmat
kepada-Nya, sebagaimana firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat (51) : 56.
“Dan aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.
(Adz-Dzariyat (51) : 56).
2.
Pengertian Hakikat Manusia
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah
yang paling mulia diantara makhluk ciptaan-Nya. Oleh sebab itu manusia diharuskan
mengenal siapa yang menciptakan dirinya sebelum mengenal lainnya. Hakikat
manusia adalah sebagai berikut :
Makhluk yang
memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.
Makhluk yang
dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai
(tuntas) selama hidupnya.
Individu
yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan
dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk
ditempati.
Makhluk
Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan
jahat.
Individu
yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan terutama lingkungan sosial, bahkan ia
tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusiaannya tanpa hidup di
dalam lingkungan sosial.
3. Teori-teori hakikat hidup dan kehidupan manusia
a. Teori Generasi Spontan
Teori ini berkembang atas dasar keyakinan bahwa kehidupan secara berulang
dan spontan berasal dari bahan-bahan tak hidup (From non living materials by
spontaneous generation).
b. Teori Penciptaan Khusus
Teori ini dilandasi oleh kepercayaan orang-orang
primitif bahwa ‘hidup dan kehidupan diciptakan oleh kekuatan supernatural’.
c. Teori Kosmozoik
Menurut teori ini, protoplasma dalam bentuk
kehidupan yang sangat sederhana mungkin telah sampai kepada planet bumi secara
kebetulan berasal dari sumber di alam ray atau ruang angkasa, dari pristiwa ini
berkembanglah kehidupan di muka bumi.
d. Teori Naturalistik
Menurut teori ini alam raya berasal dari kabut
fijar berpilin. Jangka miliaran sampai triliunan tahun yang telah lampau
melalui evolusi kosmos terjadi penurunan suhu yang juga disertai pemisahan
material yang membentuk kelompok-kelompok benda-benda langit yang disebut rasi
bintang, tata surya, planet, satelit, dll. Salah satu kelompok bintang
itu adalah Bima Sakti (Milkway).
e. Teori Evolusi
Teori evolusi ini mulai terlihat kelemahan dan
kebohongannya diantaranya:
1.
Teori ini menyebutkan bahwa kehidupan terbentuk
secara kebetulan.
2.
Teori ini menyatakan bahwa spesies baru
terbentuk melalui seleksi alam dan mutasi
3.
Teori ini berpendapat bahwa hewan darat berasal
dari hewan laut yang pindah ke darat.
4.
Teori ini berpendapat bahwa burung dan mamalia
berevolusi dari reftil.
Hal ini mustahil
diantaranya karena :
a. Sayap
burung mustahil terbentuk dan berasal dari perubahan sisik reftil.
b. Cara
bekerja paru-paru burung sama sekali berbeda dari cara kerja paru-paru hewan
darat.
c. Tulang
burung lebih ringan dibandingkan dengan tulang hewan darat. Hal ini merupakan
faktor penting bagi kemampuan terbang dan lain-lainnya.
Evolusi manusia menurut ahli paleontologi
berdasarkan tingkat evolusianya dapat dibagi menjadi :
1. Tingkat
pramanusia, fosilnya ditentukan di Johanesburg Afrika Selatan pada tahun 1924
dan dinamai fosil Australopithecus.
2. Tingkat
manusia kera, fosilnya ditemukan di Solo pada tahun 1891 yang di sebut
Pithecantropus erectus.
3. Manusia
Purba, disebut homo neanderthalesis dan kerabatnya ditemukan di Solo (homo
soloensis).
4. Manusia
modern atau homo sapiens yang telah pandai berfikir menggunakan otak dan
nalarnya.
Namun, ketika memasuki abad 20,
bebagai penemuan mualai mempertanyakan kembali akan teori evolusi ini, terutama
tentang adanya manusia primitif, beberapa bukti yang menyangkal hal ini adalah
:
1. Fosil yang
digali di wilayah Atapuerca, Spanyol, pada tahun 1995 telah meruntuhkan kisah
‘evolusi manusia’.
2. Dalam
majalah New Scientist terbitan 14 Maret 1998 ada artikel berjudul “manusia
dahulu lebih pintar dari yang kita perkirakan..... “ disebutkan didalamnya
bahwa 700.000 tahun yang lalu, manusia yang dinamai homo erectus telah pandai
melaut.
3. Fosil jarum
yang berusia 26.000 tahun milik Nenderthal menunjukan bahwa mereka memiliki
pengetahuan mengenai pakaian puluhan ribu tahun yang lalu.
Kemudian juaga ada
sinyalemen bahwa para penganut teori ini (kaum evolusionis) telah melakukan
kebohongan publik secara sistematis yang dijadikan sebagai argumentasi
teori ini, diantaranya :
1.
Gambar-gambar ‘manusia kera’ yang kita lihat di
koran-koran atu film-film semuanya merupakan lukisan imajinasi buatan kaum
evolusionis.
2.
Kaum evolusionis juga tidak ragu membuat
fosil-fosil palsu untuk mewakili apa-apa yang tidak mereka temukan, pemalsuan
yang paling termashur adalah tenatang Manusia Piltdown dan Manusia Nebraska.
Dalam Islam ketika
berbicara asal muasal penciptaan manusia, maka tidak dapat dipisahkan dari
figur manusia pertama yaitu Nabi Adam AS. Al-Qur’an menjelasakan tentang Adam
ini dalam beberapa ayatnya, tetapi lebih kedalam figur Adam sebagai manusia
yang sempurna, baik dari segi tujuan penciptaannya ataupun tingakat intelegasi
yang tinggi dibandingkan makhluk yang lainnya, ayat tersebut antara lain ;
“Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau
berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang
khalifah. Berkata mereka : Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang
merusak di dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan
memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Dan telah diajarkanNya kepada Adam
nama-nama semuanya, kemudian Dia kemukakan semua kepada Malaikat, lalu Dia
berfirman :Beritakanlah kepadaKu nama-nama itu semua, jika adalah kamu
makhluk-makhluk yang benar”. (Q.S. Al-Baqarah : 30-31)
Dalam
proses, penciptaan manusia secara efektif diciptakan melalui proses pencampuran
bahan dari laki-laki dan perempuan. Jika masuk kedalam rahim terjadilah proses
kreatif, tahap demi tahap membentuk wujud manusia.
Tahap
pertama manusia dibuat dari sripati tanah melalui makanan yang dimakan oleh
laki-laki dan perempuan, sebagian dari inti zat yang di makan menjadi bahan seperma
(air mani), yaitu bahan terciptanya manusia. Tahap kedua adalah nutfah, yaitu
cairan yang mengandung gamet pria dan gamet wanita kemudian disimpan di dalam
rahim atau uterus, yaitu wadah yang ideal untuk mengembangkan embiro. Tahap
ketiga adalah ‘alaqoh’ yaitu embiro yang berumur 24-25 hari, kemudian berubah
menjadi stadium mudghoh (26-27 hari). Selanjutnya masuk kedalam stadium tulang
(idzam), yitu cikal tulang kerangka yang terbentuk dalam stadium mudghoh (25-40
hari) berubah menjadi tulang rawan, setelah itu embiro berada dalam stadium
tulang (idzam). Pada stadium ini tumbuh berbagai organ benda dalam posisi baru
yang berhubungan dengan pertumbuhan tulang rangka.
Setelam
embiro masuk dalam stadium dibungkus daging yang meliputi tulang-tulang tersebut.
Pada minggu kedelapan, embiro menjadi vetus membentuk otot-otot. Dalam minggu
ke dua belas terjadi asifikasi pada pusat-pusat pertulangan. Anggota badan
ber-differensiasi dan terbentuk kuku pada jari kaki dan tangan. Disamping
pertumbuhan macam-macam organ, masing-masing organ juga mengalami pertumbuhan
bersama-sama dengan pertumbuhan badan. Disamping pertumbuhan organ-organ tubuh,
dalam proses akhir kehamilan, Allah meniupkan ruh kepada bayi.
Uraian-uraian
di atas disimpulkan dari beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain :
“Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari saripati yang (berasal) dari tanah. Kemudian Kami
jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami
jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami balut dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik.”(Q.S. Al-Mu'minun, 23: 12-14)
Selanjutnya
untuk memahami manusia secara dalam, berikut ini beberapa ciri yang membedakan
manusia dengan makhluk lainnya (M.D. Ali, 1998 : 12) yaitu :
1.
Makhluk yang paling unik, dijadikan dalam bentuk yang baik, ciptaan Tuhan yang
paling sempurana. “sesungguhnya kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya”. (Q.S. At-Tin : 4)
2.
Manusia memiliki potensi (daya atau kemampuan yang mungkin dikembangka) beriman
kepada Allah.
3.
Manusia diciptalan Allah untuk mengabdi kepadanya. Dijelaskan dalam Al-Qur’an
surat Az-Zariat : 56.
4.
Manusia diciptakan Allah untuk menjadi Kholifah di muka bumi. Dijelaskan dalam
Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 30.
5.
Manusia dilengkapi oleh Allah dengan perasaan, kemauan atau kehendak.
Dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi :29 dan Al-Insan : 3.
6.
Manusia secara individual bertanggung jawab asta segala perbuatannya.
7.
Dijelaskan dal Q.S. Ath-Thur : 21.
8.
Berakhlak. Ini merupakan ciri manusia yang membedakannya dengan makhluk
lainnya.
B. ALAM
SEMESTA
1. Asal Usul Alam Semesta
Jika ada ilmuwan yang berpendapat
bahwa alam semseta ini tanpa awal dan akhir, yang berarti ada dengan
sendirinya, tidak ada yang menciptakan dan terus ada selamanya (abadi) serta
tidak akan berubah, maka kita melihat apa yang ada disekitar kita.
Disekitar rumah yang kita tempati
dengan segala perabotanya, makanan yang kita makan, pakaian, sepatu dan
kendaraan yang kita pakai, gedung-gedung tinggi yang ada di ibukota tidak ada
dengan sendirinya dan tidak muncul dengan tiba-tiba. Semuanya ada yang
menjadikanya dan ada asal usulnya. Tembok-tembok rumah, gedung misalnya, ia
tersusun dari batu bata dan semen yang terbuat dari kayu yang berasal dari
pohon yang tumbuh dari tanah. Besi kawat dan paku yang turut memperkokoh
rumah/gedung juga berasal dari tanah. Pertanyaan berikutnya adalah “dari mana
asal tanah ini, bumi tempat kita berpijak?” pasti bumi ini ada asal usulnya,
tidak jadi dengan sendirinya dan juga tidak jadi secara tiba-tiba.
Jika kita tilik lebih jauh lagi,
tidak hanya asal usul planet bumi saja, tetapi alam semesta ini, ternyata alam
semesta ini termasuk planet bumi, ada asal usulnya. Temuan-temuan ilmiah di
abad ke-20 dan memasuki abad ke-21, yang dilakukan oleh para pemikir terkemuka
dunia, melalui berbagai percobaan, pengamatan dan perhitungan, fisika modern
telah menemukan bahwa alam semesta telah memiliki permulaan. bahwa ia muncul
dari ketiadaan pada sebuah momen ledakan akbar, yakni ledakan yang teramat
besar. Sebaiknya alam semesta selalu mengalami pergerakan, perubahan, dan
pengembangan. Fakta-fakta yang baru ditemukan ini memukau peti mati teori alam
semesta sainitis. Sekarang fakta ini telah diterima oleh masyarakat ilmiah.
Informasi ini sepenuhnya sesuai
dengan temuan-temuan para ilmuwan masa kini. Sebagaimana telah dinyatkan di
atas, simpulan yang telah dicapai astrofisika dewasa ini adalah bahwa seluruh
jagad raya, berikut dimensi materi dan waktu, menjadi ada sebagai hasil dari
ledakan akbar yang terjadi dahulu kala. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan
“Big Bang”, merupakan katalis untuk penciptaan alam semesta dari ketiadaan.
Temuan para ilmuwan modern ini
membuktikan kebenran yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an lima belas abad
lalu, bahwa alam semesta sebelum kejadianya masih berupa asap. Allah Swt
menjelaskan penciptaan-Nya terhadap alam semesta sebagaimana diterangkan dalam
Al-Qur’an :
Katakanlah:
"Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua
masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itu
adalah Rabb semesta alam”. Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang
kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar
makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai
jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan
langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan
kepada bumi.
"Datanglah kamu
keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya
menjawab: "Kami datang dengan suka hati". Maka Dia menjadikannya
tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya.
Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami
memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa
lagi Maha Mengetahui. (Fushshilat ayat 9-12
Mengapa
Allah menciptakan bumi dalam enam masa padahal Dia mampu menciptakannya dalam
sekejap masa. Bukanlah hanya dengan ,engucapkan “kun”, Dia mampu menciptakan
sesuatu dengan segera?
“Sesungguhnya
perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya
mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia”.(QS. An-Nahl
: 40)
Akal kita sangat
terbatas untuk menemukan jawaban atas pertanyaan di ats, namun kita dapat
mencari hikmah dari rahasia Allah mengenai penciptaan itu, yakni agar
hamba-hamba-Nya mengambil pelajaran supaya bersikap perlahan, tidak
tergesa-gesa dan teratur serta cermat dalam setiap urusan. Fenomena ini
merupakan refleksi dan manifetasi dari kekuasaan, kebesaran dan keagungan sang
Maha pencipta Allah Azza Wajala dan istilah islam di kenal dengan istilah
sunnatullah, yaitu ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah.
2. Eksistensi Allah
a. Mengalihkan akal dan nalar kepada ayat-ayat
(tanda-tanda kekuasaan Allah) di alam yang berbicara bahwa di baliknya ada
pencipta yang Maha Bijaksana, yaitu hukum axiomatik menurut logika akal yang
meyakini secara alamiah prinsip kausalitas tanpa memerlukan suatu argumentasi
ataupun pembuktian, yaitu bahwa ciptaan ini harus ada penciptanya dan
keteraturan ini harus ada yang mengaturnya.
"Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di
laut membawa apa yang berguna bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit
berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan perkisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit da bumi. Sungguh (terdapat) tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang berakal (memikirkan)". (Q.S. Al Baqarah [2]: 164).
b. Menggunakan
fitrah manusia yang dengannya seseorang dapat langsung mengetahui bahwa ia
memiliki Tuhan dan sesembahan yang Maha Kuat dan Maha Besar yang melindungi dan
merawatnya.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (Q.S. Ar-Rum :
30)
c. Kuotsi (pengambilan
fakta) oleh Al-Qur’an berdasarkan fakta sejarah manusia bahwa keimanan kepada
Allah dan Rasul-Nya merupakan suatu bahtera keselamatan bagi penganutnya dan
bahwa pendustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya merupakan suatu ancaman yang
merupakan kehancuran serta kemusnahan.
“Maka mereka mendustakan Nuh,
kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya dalam bahtera, dan
Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka
adalah kaum yang buta (mata hatinya)”. (Q.S. Al-A’raf : 64)
C.
AGAMA
1. Definisi Agama
Secara bahasa, agama berasal dari
bahasa sanskerta, yaitu ‘Gam’ yang mendapatkan awalan dan akhiran ‘a’ sehingga
menjadi ‘a-gam-a’ yang berarti peraturan, tata cara upacara hubungan manusia
dengan raja. Jika diucapkan dalam berbagai bahasa asing, maka agama diucapkan
menjadi beberapa istilah dibawah ini :
a. Religie
(religion) menurut pujangga kristen, Sainagustinus, berasal dari kata ‘re dan
eligare’ yang berarti ‘memilih kembali dari jalan sesat ke jalan Tuhsn’.
b. Religie,
menurut Lactantus, berasal dari kata ‘Re dan Ligare’ yang artinya menghubungkan
kembali sesuatu yang telah putus.
c. Religie
berasal dari kata ‘Re dan Ligere’, artinya meembaca berulang-ulang bacaan suci
dengan maksud agar jiwa si pembaca terpengaruh oleh kesuciannya, demikian
pendapat Cicero.
Sedangkan menurut istilah, agama
diartikan sebagai peraturan ilahi yang mendorong manusia berakal untuk mencapai
kebahagiaan dunia akhirat.
Dalam Al-Qur’an agama dikenal dengan
istilah al Din yaitu keyakinan terhadap eksistensi (wujud) suatu dzat
atau beberapa dzat ghaib yang maha tinggi, ia memiliki perasaan dan kehendak,
ia memiliki wewenang untuk mengurus dan mengatur urusan yang berkenaan dengan
nasib manusia.
Singkatnya, Addin adalah keyakinan
(keimanan) tentang suatu Dzat ketuhanan (Ilahiyyah) yang pantas untuk menerima
ketaatan dan ibadah (penyembahan).
2. Pembagian/macam agama
a. Agama samawi
atau kitabi, yaitu agama yang memiliki kitab suci wahyu Ilahi yang turun dari
langit membawa petunjuk atau hidayah Allah bagi manusia, seperti Yahudi, dengan
kitabnya Tauret yang diturunkan kepada Nabi Musa, Nasrani dengan kitab Injil
yang diturunkan kepada Nabi Isa dan agama islam dengan kitabnya Al Qur’an yang
ditutunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
b. Agama paganis (Watsaniyyah) atau agama
positif (Wadhiyyah) yaitu agama yang dihubungkan kepada bumi bukan dihubungkan
kepada langit, dihubungkan kepada manusia bukan kepada Allah seperti agama
Budha, Hindu, Majusi, Konghucu, dan lainnya.
3. Agama sebagai fitrah/kebutuhan
manusia
a. Kebutuhan akal terhadap pengetahuan mengenai hakikat
eksistensi terbesar (keberadaan manusia di dunia).
b. Kebutuhan fitrah manusia akan agama
c. Kebutuhan manusia terhadap kesehatan jiwa dan
kesehatan rohani.
d. Kebutuhan masyarakat terhadap motivasi dan disiplin akhlak.
e. Kebutuhan masyarakat terhadap solidaritas dan
soliditas.
Hal ini sesuai dengan firman Allah :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS, Ar-Rum : 30)
Demikianlah alam semesta, manusia dan
agama merupakan tiga hal yang saling berpautan satu dengan yang lainnya,
keberadaan hal yang satu merupakan akibat adanya hal yang lainnya. Dan hal yang
lain merupakan sebab dari adanya hal selanjutnya. Bila manusia ingin memahami
dan menyelaraskan hidupnya dengan alam semesta, maka hiduplah dengan (Islam)
karena itu adalah firahnya.
BAB II
AGAMA ISLAM
1. Pengertian
Etimologi
Berdasarkan ilmu bahasa (Etimologi) kata ”Islam”
berasal dari bahasa Arab, yaitu kata salima yang berarti selamat, sentosa dan
damai. Dari kata itu terbentuk kata aslama, yuslimu, islaman, yang berarti juga
menyerahkan diri, tunduk, paruh, dan taat. Sedangkan muslim yaitu orang yang
telah menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri, patuh, dan tunduk kepada Allah
s.w.t
Terminilogo
Secara istilah (terminologi), Islam berarti suatu nama
bagi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada manusia melalui
seorang rasul. Ajaran-ajaran yang dibawa oleh Islam merupakan ajaran manusia
mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. Islam merupakan ajaran yang
lengkap , menyeluruh dan sempurna yang mengatur tata cara kehidupan seorang
muslim baik ketika beribadah maupun ketika berinteraksi dengan lingkungannya.
Islam juga merupakan agama yang dibawa oleh Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Ya’kub, Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Isa as. Dan nabi-nabi lainnya.
Islam juga merupakan agama yang dibawa oleh Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Ya’kub, Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Isa as. Dan nabi-nabi lainnya.
Dalam
Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 132, Allah berfirman :
وَوَصَّىٰ بِہَآ
إِبۡرَٲهِـۧمُ بَنِيهِ وَيَعۡقُوبُ يَـٰبَنِىَّ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰ لَكُمُ
ٱلدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ
Artinya :
”Nabi Ibrahim
telah berwasiat kepada anak-anaknya, demikian pula Nabi Ya’kub, Ibrahim berkata
: Sesungguhnya Allah telah memilih agama Islam sebagai agamamu, sebab itu
janganlah kamu meninggal melainkan dalam memeluk agama Islam”. (QS.
Al-Baqarah, 2:132)
Nabi Isa juga
membawa agama Islam, seperti dijelaskan dalam ayat yang berbunyi sebagai
berikut :
فَلَمَّآ أَحَسَّ
عِيسَىٰ مِنۡہُمُ ٱلۡكُفۡرَ قَالَ مَنۡ أَنصَارِىٓ إِلَى ٱللَّهِۖ قَالَ
ٱلۡحَوَارِيُّونَ نَحۡنُ أَنصَارُ ٱللَّهِ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَٱشۡهَدۡ بِأَنَّا
مُسۡلِمُونَ
Artinya :
”Maka ketika
Nabi Isa mengetahui keingkaran dari mereka (Bani Israil) berkata dia : Siapakah
yang akan menjadi penolong-penolongku untuk menegakkan agama Allah (Islam)?
Para Hawariyin (sahabat beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa
sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim” (QS. Ali Imran,3:52).
Dengan demikian Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-rasul-Nya untuk diajarkankan kepada manusia. Dibawa secara berantai (estafet) dari satu generasi ke generasi selanjutnya dari satu angkatan ke angkatan berikutnya. Islam adalah rahmat, hidayat, dan petunjuk bagi manusia dan merupakan manifestasi dari sifat rahman dan rahim Allah swt.
Dengan demikian Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-rasul-Nya untuk diajarkankan kepada manusia. Dibawa secara berantai (estafet) dari satu generasi ke generasi selanjutnya dari satu angkatan ke angkatan berikutnya. Islam adalah rahmat, hidayat, dan petunjuk bagi manusia dan merupakan manifestasi dari sifat rahman dan rahim Allah swt.
Agama-agama
selain Islam umumnya diberi nama yang dihubungkan
dengan manusia yang
mendirikan atau yang menyampaikan agama itu atau dengan tempat lahir agama
bersangkutan seperti agama Budha (Budhism), agama Kristen (Christianity), atau
agama Yahudi (Judaism). Nama agama yang disampaikan oleh Nabi Muhammad ini
tidak dihubungkan dengan nama orang yang menyampaikan wahyu itu kepada manusia
atau nama tempat agama itu mula-mula tumbuh dan berkembang.
Oleh karena itu penamaan Muhamedanism untuk agama
Islam dan Mohammedan untuk orang-orang Islam yang telah dilakukan berabad- abad
oleh orang Barat, terutama oleh para orientalis adalah salah. Kesalahan ini
disebabkan karena para penulis Barat menyamakan agama Islam dengan agama-agama
lain, misalnya dengan Chrisianity yang diajarkan oleh Jesus Kristus atau
Budhism yang diajarkan oleh Budha Gautama dan lain-lain.
Memahami ajaran Islam dengan sebaik-baiknya, merupakan komitmen umat Islam terhadap Islam. Komitmen tersebut intinya terdapat dalam QS. Al-Asr(103) yang berbunyi :
Memahami ajaran Islam dengan sebaik-baiknya, merupakan komitmen umat Islam terhadap Islam. Komitmen tersebut intinya terdapat dalam QS. Al-Asr(103) yang berbunyi :
وَٱلۡعَصۡرِ (١
إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ
لَفِى خُسۡر(٢
إِلَّا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ
بِٱلصَّبۡرِ(٣
Artinya
:
Demi masa. (1)Sesungguhnya manusia itu
benar-benar berada dalam kerugian, (2) kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehati menasehati supaya menta’ati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.(3)
Berdasarkan dari surat Al-Asr di atas ada 5 (lima) komitmen atau kerikatan seorang muslim dan muslimat terhadap Islam. Komitmen tersebut adalah :
1. Meyakini, mengimani kebebaran agama Islam
seyakin-yakinnya.
2. Mempelajari, mengilmui ajaran Islam secara baik dan
benar.
3. Mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi,
keluarga dan masyarakat.
4. Mendakwahkan, menyebarkan ajaran Islam secara
bijaksana disertai argumentasi yang meyakinkan dengan bahasa yang baik dan,
5. Sabar dalam berIslam, dalam meyakini mempelajari,
mengamalkan dan mendakwahkan agama Islam.
2. Karakteristik Agama Islam
Memahami
karakteristik Islam sangat penting bagi setiap muslim, karena akan dapat
menghasilkan pemahaman Islam yang komprehen- sif. Beberapa karakteristik agama
Islam, yakni antara lain :
1. Rabbaniyah (Bersumber langsung dari Allah s.w.t) Islam
merupakan manhaj Rabbani (konsep Allah s.w.t), baik dari aspek akidah, ibadah,
akhlak, syariat, dan peraturannya semua bersumber dari Allah s.w.t
2. Insaniyah ’Alamiyah (humanisme yang bersifat
universal) Islam merupakan petunjuk bagi seluruh manusia, bukan hanya untuk
suatu kaum atau golongan. Hukum Islam bersifat universal, dan dapat
diberlakukandi setiap bangsa dan negara.
3. Syamil Mutakamil (Integral menyeluruh dan sempurna)
Islam membicarakan seluruh sisi kehidupan manusia, mulai dari yang masalah
kecil sampai dengan masalah yang besar.
4. Al-Basathah (elastis, fleksibel, mudah) Islam adalah
agama fitrah bagi manusia, oleh karena itu manusia niscaya akan mampu
melaksanakan segala perintah-Nya tanpa ada kesulitan, tetapi umumnya yang
menjadikan sulit adalah manusia itu sendiri.
5. Al-’Adalah (keadilan) Islam datang untuk mewujudkan
keadilan yang sebenar-benarnya, untuk mewujudkan persaudaraan dan persamaan di
tengah-tengah kehidupan manusia, serta memelihara darah (jiwa), kehormatan,
harta, dan akal manusia.
6. Keseimbangan (equilibrium, balans, moderat) Dalam
ajaran Islam, terkandung ajaran yang senantiasa menjaga keseimbangan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan umum, antara kebutuhan material dan
spiritua serta antara dunia dan akhirat.
7. Perpaduan antara Keteguhan Prinsip dan Fleksibilitas
Ciri khas agama Islam yang dimaksud adalah perpaduan antara hal-hal yang
bersifat prinsip (tidak berubah oleh apapun) dan menerima perubahan sepanjang
tidak menyimpang dari batas syariat.
8. Graduasi (berangsur-angsur/bertahap) Hukum atau
ajaran-ajaran yang diberikan Allah kepada manusia diturunkan secara
berangsur-angsur sesuai dengan fitrah manusia. Jadi tidak secara sekaligus atau
radikal.
9. Argumentatif Filosofis Ajaran Islam bersifat
argumentatif, tidak bersifat doktriner. Dengan demikian Al-Quran dalam
menjelaskan setiap persoalan senantiasa diiringi dengan bukti-bukti atau
keterangan-keterangan yang argumentatif dan dapat diterima dengan akal pikiran
yang sehat (rasional religius).
3 Fungsi, Tujuan dan Cita-Cita Islam
Terlaksananya
tujuan hidup manusia merupakan perwujudan diberlakukan nya fungsi-fungsi Islam
dalam kehidupan manusida dan masyarakat yang beriman dan bertakwa. Oleh karena
itu untuk memahami fungsi-fungsi atau kedudukan Islam dalam kehidupan, berikut
ini penjelasannya:
·
Islam
Sebagai Agama Allah Fungsi Islam sebagai agama Allah dinyatakan dalam
predikatnya yaitu dienul haq (agama yang benar), dimana kehadiran dan kebenaran
agama Islam nyata sepanjang zaman. Islam juga dinyatakan sebagai dinul khalis
yang berarti kesucian dan kemurnian serta keaslian Islam terjaga sepanjang
masa.
·
Islam
sebagai Panggilan Allah. Allah memanggil orang yang beriman dan bertakwa kepada
Islam dengan mengutus Rasul-Nya membawa Islam agar supaya disampaikan dan
diajarkan kepada manusia . Oleh karena itu para rasul dan para pengikut nya
yang setia hanya mengajak manusia kepada Islam.
·
Islam
sebagai Rumah yang Dibangun oleh Allah.Allah menjadikan Islam sebagai ”rumah”
yang disediakan bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa agar mereka hidup
sebagai keluarga muslim. Dengan demikian Islam merupakan wadah yang
mempersatukan orang yang beriman dan bertakwa dalam melaksanakan dan menegakkan
agama Allah dalam kehidupan manusia dan masyarakat.
·
Islam
Sebagai Jalan yang Lurus Orang yang beriman dan bertakwa yang memenuhi
panggilan Allah kepada Islam, tetap dalam Islam melaksanakan ajaran Islam,
karena mereka tahu dan mengerti bahwa Islam itu agama Allah. Merekalah yang
sedang berjalan pada jalan Allah yaitu sirathal Mustaqim(jalan yang lurus).
·
Islam
Sebagai Tali Allah Sebagai tali Allah, Islam merupakan pengikat yang mempersa-
tukan orang yang beriman dan bertakwa dalam melaksanakan dan menegakkan agama
Allah.
·
Islam
Sebagai Sibgah Allah. Sibgah atau celupan yaitu zat pewarna yang memberikan
warna bagi sesuatu yang dicelupkan. Dengan Islam, Allah bermaksud memberkan
warna atau corak kepadapa manusia. Untuk mendapatkan corak atau warna tersebut
adalah dengan jihad, mengerahkan segala kemampuan nya dalam melaksanakan agama
Allah. Muslim yang tersibghah adalah Allah tetapkan sebagai saksi atas manusia
dan yang sadar akan identitasnya serta tahu akan harga dirinya sebagai hamba
Allah yang beriman dan bertakwa.
·
Islam
Sebagai Bendera Allah. Islam sebagai bendera Allah di bumi. Bendera tersebut
mesti dikibarkan setinggi tingginya, sehingga tampak berkibar menjulang tinggi
di angkasa. Untuk mengibarkan atau menampakkan Islam, Allah mengutus Rasul-Nya
dengan Alquran dan Islam, sehingga dengan demikian kekafiran dan kemusrikan
akan dapat diatasi.
4.
Klasifikasi
Agama dan Agama Islam
Menurut
sumber ajaran suatu agama, agama-agama dapat dibagi menjadi (1) Agama wahyu
(revealed religion) atau agama langit dan (2) Agama budaya (cultural religion
/natural religion) yang disebut juga agama bumi atau agama alam. Agama wahyu
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Agama wahyu dapat dipastikan kelahirannya. Pada waktu
agama wahyu disampaikan malaikat (Jibril) kepada manusia pilihan yang disebut
utusan atau Rasul-Nya, pada waktu itulah agama wahyu lahir.
2. Agama tersebut disampaikan kepada manusia melalui
Utusan atau Rasul Allah.
3. Memiliki kitab suci yang berisi himpunan wahyu yang
diturunkan oleh Allah.
4. Ajaran agama wahyu mutlak benar karena berasal dari
Allah yang Maha Benar, Maha Mengetahui segala-galanya.
5. Sistem hubungan manusia dengan Allah dalam Agama
wahyu, ditentu kan sendiri oleh Allah dengan penjelasan lebih lanjut oleh
Rasul-Nya.
6. Konsep ketuhanan agama wahyu adalah monoteisme murni
sebagai- mana yang disebutkan dalam ajaran agama langit itu.
7. Dasar-dasar agama wahyu bersifat mutlak, berlaku bagi
seluruh umat manusia.
8. Sistem nilai agama wahyu ditentukan oleh Allah sendiri
yang diselaras- kan dengan ukuran dan hakikat kemanusiaan.
9. Agama wahyu menyebut sesuatu tentang alam yang
kemudian dibuktikan kebenarannya oleh ilmu pengetahuan(sains) modern.
Melalui agama wahyu Allah memberi petunjuk, pedoman, tuntunan dan
peringatan kepada manusia dalam pembentukan insan kamil,
yakni manusia yang sempurna,
manusia baik yang bersih dari noda dan dosa.
Sebagai
contoh agama yang masuk ke dalam kelompok agama wahyu adalah : Islam, Yahudi
dan Nasrani. Sedangkan kelompok agama budaya contohnya adalah Kong Hu Cu, Budha
dan Hindhu. Islam sebagai agama wahyu, tentunya jika kesepuluh tolok ukur di
atas diterapkan kepada agama Islam, hasilnya adalah sebagai berikut :
1. Agama Islam dilahirkan pada tanggal 17 Ramadhan tahun
Gajah, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M.
2. Disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad
sebagai utusan Allah.
3. Meimiliki kitab suci Alquran yang memuat asli semua
wahyu yang diterima oleh Rasul-Nyaselama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mulai
Mekah dan kemudian di Madinah.
4. Ajaran Islam mutlak benar karena berasal dari Allah
yang Maha Benar dan Maha Mengetahui segala sesuatu.
5. Sistem hubungan manusia dengan Allah disebutkan dalam
Alquran, dijelaskan dan dicontohkan pelaksanaannya oleh Rasul-Nya.
6. Konsep Ketuhanan Islam adalah tauhid, monoteisme
murni, ke Esaan Allah, esa dalam Zat, esa dalam sifat , esa dalam perbutan dan
seterusnya.
7. Dasar-dasar agama Islam bersifat fundamental dan
mutlak, berlaku untuk seluruh umat manusia di manpun dia berada.
8. Nilai-nilai terutama nilai-nilai etika (akhlak) dan
estetika (keindahan) yang ditentukan oleh Agama Islam sesuai dengan fitrah
manusia dan kemanu siaan.
9. Soal-soal alam (semesta) yang disebutkan dalam Agama
Islam yang dahulu diterima dengan keyakinan saja, kini telah banyak dibuktikan
kebenarannya oleh sains modern.
10.
Bila
petunjuk, pedoman dan tuntunan serta peringatan agama Islam dilaksanakan dengan
baik dan benar akan terbentuk insan kamil, manusia sempurna.
5. Ruang lingkup ajarannya
1. Din berarti “agama” Al-Fath : 28
هُوَ ٱلَّذِىٓ أَرۡسَلَ
رَسُولَهُ ۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ لِيُظۡهِرَهُ ۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦۚ
وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدً۬ا
Artinya :
Dia-lah
yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar
dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.
2. Din berarti “ibadah” surat Al-Mukminun : 14
ثُمَّ خَلَقۡنَا
ٱلنُّطۡفَةَ عَلَقَةً۬ فَخَلَقۡنَا ٱلۡعَلَقَةَ مُضۡغَةً۬ فَخَلَقۡنَا ٱلۡمُضۡغَةَ
عِظَـٰمً۬ا فَكَسَوۡنَا ٱلۡعِظَـٰمَ لَحۡمً۬ا ثُمَّ أَنشَأۡنَـٰهُ خَلۡقًا ءَاخَرَۚ
فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحۡسَنُ ٱلۡخَـٰلِقِينَ
Artinya :
Kemudian
air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang [berbentuk] lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik.
3. Din berarti “kekuatan” surat Luqman 32
وَإِذَا غَشِيَہُم
مَّوۡجٌ۬ كَٱلظُّلَلِ دَعَوُاْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ فَلَمَّا نَجَّٮٰهُمۡ
إِلَى ٱلۡبَرِّ فَمِنۡهُم مُّقۡتَصِدٌ۬ۚ وَمَا يَجۡحَدُ بِـَٔايَـٰتِنَآ إِلَّا
كُلُّ خَتَّارٍ۬ كَفُورٍ۬
Artinya
:
Dan
apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah
dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka
sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus [2].
Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak
setia lagi ingkar.
4. Din berarti “pembalasan
hari kiamat”
AL-IMRAN 85
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ
ٱلۡإِسۡلَـٰمِ دِينً۬ا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِى ٱلۡأَخِرَةِ مِنَ
ٱلۡخَـٰسِرِينَ
Artinya :
Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
[agama itu] daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
AL-MAIDAH 3
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ
ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ
بِهِۦ وَٱلۡمُنۡخَنِقَةُ وَٱلۡمَوۡقُوذَةُ وَٱلۡمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ
وَمَآ أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيۡتُمۡ وَمَا ذُبِحَ عَلَى ٱلنُّصُبِ
وَأَن تَسۡتَقۡسِمُواْ بِٱلۡأَزۡلَـٰمِۚ ذَٲلِكُمۡ فِسۡقٌۗ ٱلۡيَوۡمَ يَٮِٕسَ
ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمۡ فَلَا تَخۡشَوۡهُمۡ وَٱخۡشَوۡنِۚ ٱلۡيَوۡمَ
أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ
ٱلۡإِسۡلَـٰمَ دِينً۬اۚ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ فِى مَخۡمَصَةٍ غَيۡرَ مُتَجَانِفٍ۬
لِّإِثۡمٍ۬ۙ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ۬ رَّحِي
Artinya
:
Diharamkan
bagimu [memakan] bangkai, darah[1], daging babi, [daging hewan] yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[2],
dan [diharamkan bagimu] yang disembelih untuk berhala. Dan [diharamkan juga]
mengundi nasib dengan anak panah[3], [mengundi nasib dengan anak panah itu]
adalah kefasikan. Pada hari ini [4] orang-orang kafir telah putus asa untuk
[mengalahkan] agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu. Maka barangsiapa terpaksa[5] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat
dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
AL-BAQARAH 102
وَلَوۡ
أَنَّهُمۡ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَمَثُوبَةٌ۬ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ خَيۡرٌ۬ۖ
لَّوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ
Sesungguhnya
kalau mereka beriman dan bertakwa, [niscaya mereka akan mendapat pahala], dan
sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.
AL-HAJJ 78
وَجَـٰهِدُواْ
فِى ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِۦۚ هُوَ ٱجۡتَبَٮٰكُمۡ وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِى
ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٍ۬ۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمۡ إِبۡرَٲهِيمَۚ هُوَ سَمَّٮٰكُمُ
ٱلۡمُسۡلِمِينَ مِن قَبۡلُ وَفِى هَـٰذَا لِيَكُونَ ٱلرَّسُولُ شَهِيدًا
عَلَيۡكُمۡ وَتَكُونُواْ شُہَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِۚ فَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ
وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱعۡتَصِمُواْ بِٱللَّهِ هُوَ مَوۡلَٮٰكُمۡۖ فَنِعۡمَ
ٱلۡمَوۡلَىٰ وَنِعۡمَ ٱلنَّصِيرُ
Artinya
:
Dan
berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. [Ikutilah] agama orang tuamu Ibrahim. Dia [Allah] telah menamai
kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu [1] dan [begitu pula] dalam [Al Qur’an]
ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi
saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan
berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah
sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.
AL-BAQARAH 132
وَوَصَّىٰ
بِہَآ إِبۡرَٲهِـۧمُ بَنِيهِ وَيَعۡقُوبُ يَـٰبَنِىَّ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰ
لَكُمُ ٱلدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ
Artinya
:
Dan
Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub.
[Ibrahim berkata]: "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih
agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama
Islam"
YUSUF 101
رَبِّ قَدۡ
ءَاتَيۡتَنِى مِنَ ٱلۡمُلۡكِ وَعَلَّمۡتَنِى مِن تَأۡوِيلِ ٱلۡأَحَادِيثِۚ
فَاطِرَ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ أَنتَ وَلِىِّۦ فِى ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأَخِرَةِۖ
تَوَفَّنِى مُسۡلِمً۬ا وَأَلۡحِقۡنِى بِٱلصَّـٰلِحِينَ
Artinya
:
Ya
Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan
dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian takbir mimpi. [Ya Tuhan]. Pencipta
langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku
dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.
AN-NAML 29 – 31
قَالَتۡ
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلۡمَلَؤُاْ إِنِّىٓ أُلۡقِىَ إِلَىَّ كِتَـٰبٌ۬ كَرِيمٌ (٢٩
إِنَّهُ ۥ
مِن سُلَيۡمَـٰنَ وَإِنَّهُ ۥ بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ (٣٠
أَلَّا
تَعۡلُواْ عَلَىَّ وَأۡتُونِى مُسۡلِمِينَ (٣١)
Artinya
:
Berkata
ia [Balqis]: "Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan
kepadaku sebuah surat yang mulia. (29) Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman
dan sesungguhnya [isi] nya: ’Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang. (30) Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku
dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang berserah diri’". (31)
AL-IMRAN
52
فَلَمَّآ
أَحَسَّ عِيسَىٰ مِنۡہُمُ ٱلۡكُفۡرَ قَالَ مَنۡ أَنصَارِىٓ إِلَى ٱللَّهِۖ قَالَ
ٱلۡحَوَارِيُّونَ نَحۡنُ أَنصَارُ ٱللَّهِ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَٱشۡهَدۡ بِأَنَّا
مُسۡلِمُونَ
Artinya
: Maka tatkala ’Isa mengetahui keingkaran mereka [Bani Israil] berkatalah
dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk [menegakkan
agama] Allah?" Para hawariyyin [sahabat-sahabat setia] menjawab:
"Kamilah penolong-penolong [agama] Allah. Kami beriman kepada Allah; dan
saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.
6. Agama Islam Dan IPTEK
·
Surat Yunus
Ayat 101
Bacaan Surat Yunus Ayat 101Kandungan Surat Yunus Ayat 101
Dalam ayat
ini Allah menjelaskan perintah Nya kepada rasul Nya agar diamenyuruh kaumnya
untuk memperhatikan dengan mata kepala mereka dandengan akal budi mereka segala
yang ada di langit dan di bumi. Merekadiperintahkan agar merenungkan keajaiban
langit yang penuh dengan bintang - bintang, matahari dan bulan, keindahan
pergantian malam dan siang, air hujanyang turun ke bumi, menghidupkan bumi yang
mati, menumbuhkan tanam -tanaman, dan pohon-pohonan dengan buah - buahan yang
beraneka warna danrasa.Hewan-hewan dengan bentuk dan warna yang bermacam-macam
hidup diatas bumi, memberi manfaat yang tidak sedikit kepada manusia. Demikian
pulakeadaan bumi itu sendiri yang terdiri dari gurun pasir, lembah yang terjal,
dataranyang luas, samudera yang penuh dengan berbagai ikan yang semuanya itu
terdapattanda - tanda keesaan dan kekuasaan Allah SWT bagi orang - orang yang
berfikir dan yakin kepada penciptanya.Akan tetapi mereka yang tidak
percaya adanya pencipta alam ini, membuatsemua tanda - tanda keesaan dan
kekuasaan Allah di alam ini tidak akan bermanfaat baginya.
Kesimpula
Surat Yunus Ayat 101
1. Suruhan Allah SWT agar umat manusia
mengadakan pengkajian, penelitian,dan pengamatan terhadap bumi, langit serta segala
isinya dari segi Iptek.
2. Umat manusia hendaknya mengambil
manfaat dari tanda tanda kekuasaanAllah SWT dan mengambil peringatan (takzir)
yang disampaikan para rasul. Peringatan itu ada yang berupa ancaman siksa
(wa’id) bagi orang yang tidak beriman dan adapula yang berupa berita
gembira yakni balasa surga (wa’ad) bagi umat yang bertakwa
7. Tokoh
Islam yang Berpengaruh Terhadap Perkembangan Iptek
- Al Khowarismi (Alqorithm)
`Ciptaannya
berasal dari namanya, ini dianggap dasar asasi darimatematika. Beliau menemukan
Aljabar, Hisabljabar wal karangannya,merupakan buku pertama/ terutama tentang
aljabar yang sampai abad ke XVI,merupakan referensi utama pada universitas -
universitas di Eropa. Angka 0 (nol)adalah peneuannya, yang merupakan penentu
pesatnya perkembangan dari ilmu pasti dewasa ini. Dua setengah abad
setelah Islam/ Arab menggunakan angka nol barulah bangsa - bangsa barat
menggunakannya.
·
Ibnu Khaldun
Beliau
merupakan konseptor pertama sejarah, dalampenulisannya berpegang pada
kaidah-kaidah yang bersifat obyektif ilmiah dalammengumpulkan fakta, pengamatan
fakta, analisa fakta serta hubungan antara fakta- fakta. Karya sejarahnya
adalah “Al Ibrar”, dan yang paling terkenal
adalah “Muqaddimah” sebuah buku filsafat sejarah Abu Raihan Muhammd Al BaituniSebelum
Galileo, beliau telah mengemukakan teori tentang bumi berputar sekitar
asnya, selanjutnya beliau mengadakan penyelidikan tentang kecepatansuara dan
cahaya.
·
Ibnu Sina
Disamping
mendapat julukan “Father Of Doctors”, Ibnu Sina diakui sebagai filosuf besar
yang amat berpengaruh di kalangan filosuf barat. KaryanyaadalahAl Qonun Fitthib
dan Asy Syifa’ yang merupakan Ensiklopedi besar ntentang Filsafat
Kedokteran dan ilmu pasti, sampai tahun 1982 masih dicetak ulang di
Leiden.
BAB III
SUMBER
AJARAN ISLAM
Sumber
Ajaran Islam itu ada tiga, yakni Al-Quran, Hadits (As-Sunnah), dan Ijtihad.
Ajaran yang tidak bersumber dari ketiganya bukan ajaran Islam.
Sumber ajaran Islam pertama dan kedua (Al-Quran dan
Hadits/As-Sunnah) langsung dari Allah SWT dan Nabi Muhammad Saw. Sedangkan yang
ketiga (ijtihad) merupakan hasil pemikiran umat Islam, yakni para ulama
mujtahid (yang berijtihad), dengan tetap mengacu kepada Al-Quran dan
As-Sunnah.
1. AL-QUR’AN
Secara harfiyah, Al-Quran artinya “bacaan” (qoroa,
yaqrou, quranan), sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 75:17-18:
“Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengum-pulkannya dan ‘membacanya’. Jika Kami telah selesai
membacakannya, maka ikutilah ‘bacaan’ itu”.
Al-Quran adalah kumpulan wahyu atau firman Allah yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, berisi ajaran tentang keimanan
(akidah/tauhid/iman), peribadahan (syariat), dan budi pekerti (akhlak).
Al-Quran
adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw, bahkan terbesar pula dibandingkan
mukjizat para nabi sebelumnya. Al-Quran membenarkan Kitab-Kitab sebelumnya dan
menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkan sebelumnya.
“Tidak
mungkin Al-Quran ini dibuat oleh selain Allah. Akan tetapi ia membenarkan
kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang ditetapkannya.
Tidak ada keraguan di dalamnya dari Tuhan semesta alam” (Q.S. 10:37).
“Dan apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Quran itulah yang benar, membenarkan
kitab-kitab sebelumnya...” (Q.S. 35:31). 32
Al-Quran
dalam wujud sekarang merupakan kodifikasi atau pembukuan yang dilakukan para
sahabat. Pertama kali dilakukan oleh shabat Zaid bin Tsabit pada masa Khalifah
Abu Bakar, lalu pada masa Khalifah Utsman bin Affan dibentuk panitia ad hoc
penyusunan mushaf Al-Quran yang diketuai Zaid. Karenanya, mushaf Al-Quran yang
sekarang disebut pula Mushaf Utsmani.
2. HADITS/ AS-SUNNAH
Hadits disebut juga As-Sunnah. Sunnah secara bahasa
berarti "adat-istiadat" atau "kebiasaan" (traditions).
Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, dan penetapan/persetujuan serta
kebiasaan Nabi Muhammad Saw. Penetapan (taqrir) adalah persetujuan atau
diamnya Nabi Saw terhadap perkataan dan perilaku sahabat.
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam
dijelaskan Al-Quran dan sabda Nabi Muhammad Saw.
“Demi
Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu
(Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, lalu
mereka tidak merasa berat hati terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka
menerima sepenuh hati” (Q.S. 4:65).
“Apa yang
diberikan Rasul (Muhammad) kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya
maka tinggalkanlah” (Q.S.
59:7).
“Telah
kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian berpegang teguh
dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (Al-Quran) dan
Sunnah-ku.” (HR. Hakim
dan Daruquthni).
“Berpegangteguhlah
kalian kepada Sunnahku dan kepada Sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku” (H.R. Abu Daud).
Sunnah merupakan “penafsir” sekaligus “juklak”
(petunjuk pelaksanaan) Al-Quran. Sebagai contoh, Al-Quran menegaskan tentang
kewajiban shalat dan berbicara tentang ruku’ dan sujud. Sunnah atau Hadits
Rasulullah-lah yang memberikan contoh langsung bagaimana shalat itu dijalankan,
mulai takbiratul ihram (bacaan “Allahu Akbar” sebagai pembuka shalat), doa
iftitah, bacaan Al-Fatihah, gerakan ruku, sujud, hingga bacaan tahiyat dan
salam.
Ketika Nabi
Muhammad Saw masih hidup, beliau melarang para sahabatnya menuliskan apa yang
dikatakannya. Kebijakan itu dilakukan agar ucapan-ucapannya tidak
bercampur-baur dengan wahyu (Al-Quran). Karenanya, seluruh Hadits waktu itu
hanya berada dalam ingatan atau hapalan para sahabat.
Kodifikasi Hadits dilakukan pada masa Khalifah Umar
bin Abdul Aziz (100 H/718 M), lalu disempurnakan sistematikanya pada masa
Khalifah Al-Mansur (136 H/174 M). Para ulama waktu itu mulai menyusun kitab
Hadits, di antaranya Imam Malik di Madinah dengan kitabnya Al-Mutwaththa,
Imam Abu Hanifah menulis Al-Fqhi, serta Imam Syafi’i menulis Ikhtilaful
Hadits, Al-Um, dan As-Sunnah.
Berikutnya muncul Imam Ahmad dengan Musnad-nya yang
berisi 40.000 Hadits. Ulama Hadits terkenal yang diakui kebenarannya hingga
kini adalah Imam Bukhari (194 H/256 M) dengan kitabnya Shahih Bukhari dan Imam
Muslim (206 H/261 M) dengan kitabnya Shahih Muslim. Kedua kitab Hadits itu
menjadi rujukan utama umat Islam hingga kini. Imam Bukhari berhasil
mengumpulkan sebanyak 600.000 hadits yang kemudian diseleksinya. Imam Muslim
mengumpulkan 300.000 hadits yang kemudian diseleksinya.
Ulama Hadits lainnya yang terkenal adalah Imam Nasa'i
yang menuangkan koleksi haditsnya dalam Kitab Nasa'i, Imam Tirmidzi dalam
Shahih Tirmidzi, Imam Abu Daud dalam Sunan Abu Daud, Imam Ibnu Majah dalam
Kitab Ibnu Majah, Imam Baihaqi dalam Sunan Baihaqi dan Syu'bul Imam, dan Imam
Daruquthni dalam Sunan Daruquthni.
3. IJTIHAD
Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan
pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam
Al-Quran dan As-Sunnah. Pelakunya disebut Mujtahid.
Kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum atau ajaran
Islam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits
(Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi
Muhammad Saw dan Mu’adz bin Jabal yang diangkat sebagai Gubernur Yaman.
“Bagaimana
memutuskan perkara yang dibawa orang kepada Anda?”
“Hamba akan
memutuskan menurut Kitabullah (Al-Quran.”
“Dan jika di
dalam Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”
“Jika
begitu, hamba akan memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.”
“Dan jika
Anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah Rasulullah?”
“Hamba akan
mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi ra’yi) tanpa
bimbang sedikit pun.”
“Segala puji
bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati
Rasulullah!”
Hadits tersebut diperkuat sebuah fragmen peristiwa
yang terjadi saat-saat Nabi Muhammad Saw menghadapi akhir hayatnya. Ketika itu
terjadi dialog antara seorang sahabat dengan Nabi Muhammad Saw.
“Ya
Rasulallah! Anda sakit. Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya?”
“Kamu punya
Al-Quran!”
“Ya
Rasulallah! Tetapi walaupun dengan Kitab yang membawa penerangan dan petunjuk
tidak menyesatkan itu di hadapan kami, sering kami harus meminta nasihat,
petunjuk, dan ajaran, dan jika Anda telah pergi dari kami, Ya Rasulallah,
siapakah yang akan menjadi petunjuk kami?”
“Berbuatlah
seperti aku berbuat dan seperti aku katakan!”
“Tetapi
Rasulullah, setelah Anda pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin timbul yang
tidak dapat timbul selama hidup Anda. Kalau demikian, apa yang harus kami
lakukan dan apa yang harus dilakukan orang-orang sesudah kami?”
“Allah telah
memberikan kesadaran kepada setiap manusia sebagai alat setiap orang dan akal
sebagai petunjuk. Maka gunakanlah keduanya dan tinjaulah sesuatu dan rahmat
Allah akan selalu membimbing kamu ke jalan yang lurus!”
Ijtihad
adalah “sarana ilmiah” untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang tidak secara
tegas ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan
Ijtihad, sepanjang ia menguasai Al-Quran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga
berakhlak baik dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas
keilmuan dan akhlaknya diakui umat Islam. Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai
fatwa. Jika Ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau kolektif, maka hasilnya
disebut Ijma’ atau kesepakatan. Wallahu a'lam.
BAB IV
AYAT AYAT
AL-QUR’AN TENTANG WARISAN
A. Sejarah
hukum Waris
Hukum waris
sudah ada pada masyarakat Arab pra-Islam. Kehadiran hukum waris Islam untuk
perbaikan jenis ketidak-adilan dalam pembagian waris tersebut. Pertama, dikisahkan
bahwa pada zaman Arab pra-Islam, warisan tak diberikan kepada anak kecil (ma
kanu yuwarritsuna al-shighar). Ini karena anak kecil tak menghasilkan
secara ekonomi. Kita tahu bahwa ekonomi masyarakat Arab pra-Islam sangat
tergantung pada bisnis-perniagaan, di samping juga pada hasil jarahan dan
rampasan perang dari kelompok masyarakat dan bangsa-bangsa yang ditaklukkan.
Dengan demikian, hanya orang yang menghasilkan harta yang pantas mendapatkan
harta pusaka.
Dalam
konteks itu, maka turun ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa anak kecil, baik
laki maupun perempuan, mendapatkan hak untuk mendapatkan warisan. Dikisahkan
bahwa Aus ibn Tsabit wafat dengan meninggalkan dua anak perempuan dan satu anak
laki-laki. Lalu datanglah dua anak laki-laki pamannya bernama Khalid dan
Arfathah (saudara sepupu laki-laki anak-anak Aus) mengambil semua harta warisan
Aus ibn Tsabit. Dengan pengambilan harta itu, janda mendiang Aus mengadu kepada
Nabi, lalu turunlah ayat al-Qur’an, “Bagi laki-laki ada bagian harta yang ditinggalkan
oleh kedua orang tua dan kerabatnya; dan bagi perempuan pun ada bagian dari
harta yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit
maupun banyak darinya, suatu bagian yang telah ditetapkan”.
Dalam ushul
fikih dikatakan bahwa anak kecil memang tak cakap bertindak (ahliyya’ al-ada’),
tapi ia tetap cakap hukum (ahliyyah al-wujub). Allah berfirman dalam al-Qur’an
(al-Nisa’ (4): 12), “Allah memerintahkan kepadamu mengenai bagian anak-anakmu;
untuk seorang anak laki-laki (al-dzakar) seperti bagian dua orang anak
perempuan”. Memberikan bagian waris terhadap anak kecil saat itu kontroversial,
dan lebih kontroversial lagi dengan memberikan waris kepada anak perempuan.
Al-Qur’an menggambarkan perilaku buruk sebagian masyarakat Arab pra-Islam yang
suka membunuh dan mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan. Allah berfirman
(QS, al-Nahl [16]: 58) :
وَإِذَا بُشِّرَ
أَحَدُهُمْ بِالأنْثَى ظَلَّ وَجْهُه مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌُ
Artinya : ”Dan apabila
seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah
(merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.”
Kedua,
berbagai ulama berkata bahwa perempuan zaman pra-Islam tak mendapatkan warisan.
Alih-alih mendapatkan warisan, mereka dianggap sebagai barang yang perlu
diwariskan. Berbagai sumber menceritakan bahwa jika seorang laki-laki wafat
dengan meninggalkan seorang istri, maka para wali dan keluarga terdekat
mendiang suami lebih berhak untuk menikahi si janda tersebut. Jika mereka
hendak menikahi, maka pernikahan bisa dilangsungkan. Jika mereka enggan untuk
menikahi, maka si janda tersebut dibiarkan sampai meninggal dunia. Ibn Jarir al-Thabari
mengisahkan bahwa Abu Qais ibn al-Aslat wafat dengan meninggalkan istri bernama
Kabisyah binti Ma’an ibn Ashim. Dengan meninggalnya sang ayah, anak dari Abu
Qais hendak menikahi ibu tirinya tersebut. Tradisi ini sudah berlangsung lama
yang kemudian dikritik oleh Islam.
Dalam
konteks itu, maka turun ayat al-Qur’an (al-Nisa’ [4]: 19), yang
artinya “Hai orang-orang beriman,
tidak halal bagi kalian mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah
kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang
telah kamu berikan kepadanya..”. Rasyid Ridha menegaskan bahwa ayat ini
menegaskan sebuah realitas dimana perempuan direndahkan dan dianggap sebagai
barang yang bisa diwariskan, sehingga keluarga sang suami bisa mewarisi si perempuan
sebagaimana bisa mewarisi harta mereka.
Dengan dasar
itu, maka Allah mengharamkan pewarisan seorang janda kepada keluarga terdekat.
Bahkan, diturunkan sebuah ayat waris yang menegaskan perempuan dalam satu
keluarga adalah ahli waris, sebagaimana laki-laki. Dengan jeli ayat waris itu
mengkritik terhadap tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang tak memberikan waris
kepada perempuan. Bagi orang Arab ketika itu, yang berhak mendapatkan warisan
adalah mereka yang menghasilkan secara finansial. Dengan demikian, perempuan
yang tak bekerja menghasilkan harta dianggap tak pantas mendapatkan warisan
harta. Mereka berkata, “bagaimana kami bisa memberikan harta kepada orang yang
tak pernah menunggang kuda, tak memanggung senjata untuk berperang, dan tak
pernah berperang melawan musuh (yuqatilul al-‘aduwwa). Kami menanggung nafkah
mereka dan mereka tak menanggup nafkah kami”.
Apa yang
berlaku pada zaman pra-Islam itu tampaknya terus bertahan hingga Rasulullah dan
umat Islam hijrah ke Madinah. Diriwayatkan oleh Jabir ibn Abdullah bahwa janda
mendiang Sa’ad ibn al-Rabi’ pernah mengadu kepada Rasullah. Ia berkata, “Wahai
Rasulullah: Sa’ad telah wafat dengan meninggalkan dua anak perempuan. Tapi,
seluruh harta peninggalan Sa’ad diambil oleh saudara laki-lakinya sehingga tak
tersisa sedikitpun, sementara dua anak perempuan Sa’ad membutuhkan biaya untuk
keperluan pernikahan mereka”. Lalu Rasulullah memanggil sang paman (saudara
laki-laki Sa’ad) dan berkata kepadanya, “berikan dua pertiga harta Sa’ad kepada
anak perempuannya, seperdelapan buat istrinya, dan sisanya buat kamu”. Maka
turunlah surat an-Nisa’ ayat
11-12 yang berbicara tentang hukum waris.
Riwayat lain
mengisahkan bahwa ayat waris dalam al-Qur’an turun dengan sebab berikut.
Alkisah,
Abdurrahman ibn Tsabit (saudara laki-laki Hassan ibn Tsabit yang penyair itu)
wafat dengan meninggalkan seorang istri bernama Ummu Kajjah dan lima saudara
perempuan. Maka datanglah para ahli waris untuk mengambil seluruh harta
peninggalan Abdurrahman ibn Tsabit. Lalu Ummu Kajjah datang mengadu kepada
Nabi. Maka, turunlah firman Allah yang mengatur pembagian waris dalam Islam,
yaitu surat al-Nisa’ ayat 12.
Penjelasan
ini hendak menunjukkan bahwa hukum waris atau mekanisme pembagian waris sudah
ada pada zaman sebelum Islam. Tradisi pewarisan seperti itu berlangsung selama
tiga belas tahun umat Islam berada di Mekah. Sebab, ayat yang berbicara tentang
waris baru turun dalam periode Madinah. Bahkan, dalam periode awal di Madinah,
Rasulullah menetapkan mekanisme hukum waris tertentu. Menurutnya, kebersamaan
dalam hijrah dan kesetiakawanan sebagai sesama umat Islam menyebabkan adanya
hubungan kewarisan. Setiap umat Islam adalah bersaudara, dan setiap yang
berhijrah adalah pewaris bagi pelaku hijrah yang lain. Menurut Rasyid Ridha,
hukum kewarisan seperti di awal periode Madinah ini ditetapkan Nabi karena
sebagian besar keluarga dekat (dzawi al-qurba) umat Islam adalah orang-orang
musyrik. Dalam ancaman pembunuhan orang-orang musyrik itu, maka umat Islam
harus bersatu padu saling menolong (al-tanashur) dan saling menanggung
(al-takaful). Apalagi, umat Islam yang hijrah ke Madinah itu telah berjihad
dengan meninggalkan seluruh harta bendaanya di Mekah. Dalam kondisi itu,
menurut Rasyid Ridha, wajar sekiranya Nabi Muhammad membentuk solidaritas sesama umat Islam bahkan sampai dalam
hubungan kewarisan.
1. Kewarisan
Pada Zaman Pra Islam
Hukum
kewarisan sebelum Islam sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh
masyarakat jahiliyyah. Orang-orang arab jahiliyah adalah tergolong salah satu
bangsa yang gemar mengembara dan berperang, nomaden (pindah-pindah). Ciri-ciri
tersebut merupakan kultur yang mapan. Karena itu budaya tersebut ikut membentuk
niali-nilai, sistem hukum dan sistem sosial yang berlaku. sehingga kekuatan fisik pun menjadi salah satu ukuran di
dalam sistem hukum kewarisannya.
Kehidupan
mereka sedikit banyak tergantung pada hasil jarahan dan rampasan perang dari
bangsa bangsa yang telah mereka taklukkan, disamping ada juga yang tergantung
dari hasil memperniagakan rempah-rempah. Dalam bidang mu’ammalah dan pembagian harta pusaka, mereka berpegang teguh kepada tradisi-tradisi yang
telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Dalam tradisi pembagian harta pusaka
yang telah diwarisi dari leluhur mereka terdapat suatu ketentuan utama bahwa
anak-anak yang belum dewasa dan perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan
ahli warisnya yang telah meninggal.
Tradisi
menganggap bahwa anak-anak yang
belum dewasa dan kaum perempuan adalah sebagai keluarga yang belum atau tidak
pantas menjadi ahli waris. Bahkan sebagian dari mereka beranggapan bahwa janda
perempuan dari seseorang yang telah meninggal adalah sebagai wujud harta
peninggalan yang dapat dipusakakan dan dipusakai kepada dan oleh ahli waris.
Banyak sekali riwayat dari para Sahabat yang
menceritakan hal itu. Salah satunya adalah Ibnu Abi Thalhah, misalnya mengutip
suatu riwayat Ibnu ‘Abbas r.a yang menjelaskan ”bila terjadi seorang laki-laki
meninggal dunia dengan meninggalkan seorang perempuan (janda), kerabatnya
melemparkan pakaiannya dimuka perempuan tersebut, (atas tindakan ini). Maka ia
melarangnya untuk dikawini oleh orang lain. Jika perempuan tersebut cantik
terus dikawininya dan jika jelek
ditahannya sampai meninggal
dunia untuk kemudian
dipusakai harta peninggalannya.
Sebagai bukti bahwa tradisi mewarisi janda
simati itu betul-betul terjadi pada zaman jahiliyah ialah tindakan seorang yang
bernama Mihsham bin Abu Qais al-Aslat, sesaat ayahnya meninggal dunia,
ia berhasrat mengawini janda ayahnya yang tidak diurus belanjanya. Atas desakan
dari calon suaminya yang baru janda tersebut meminta izin kepada Rasulullah
agar diperkenankan berkawin dengan Mihsham. Disaat itu Rasulullah s.a.w. belum
dapat memberikan jawaban spontan. Baru beberapa saat kemudian setelah Allah
menurunkan ayat: 19 dari surah An Nisa’ :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
“Hai orang orang yang beriman, tidak halal bagi
kamu mempusakai wanita-wanita
(janda-janda simati) dengan cara paksaan”
Ayat di atas tidak bisa dipahami bahwa mewarisi
janda-janda dengan jalan bukan paksaan diperbolehkan. Dalam kaitan ini Allah
memberikan penegasan dalam surah An Nisa’ ayat 22:
وَلا تَنْكِحُوا مَا
نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat
keji dan dibenci Allah, dan seburuk buruk jalan (yang ditempuh)”
Akhirnya hasrat Mihsham untuk mengawini janda ayahnya dilarang oleh
Rasulullah setelah menerima wahyu dari Allah, merupakan suatu bukti bahwa
tradisi semacam itu sudah biasa dilakukan oleh orang jahiliyah sebelum
datangnya agama Islam. Adapun penundaan Rasulullah sampai saat turunnya wahyu yang
melarangnya, disebabkan adat tersebut
sudah mendarah daging pada mereka sehingga memerlukan
petunjuk yang tegas dari Allah.
Adapun dasar-dasar pewarisan pada zaman
jahiliyah atau sebelum Islam ialah sebagai
berikut:
1. Pertalian kerabat (al-qara>bah)
2. Janji prasetia (al-h}ilf wa al-mu’a>qadah)
3. Pengangkatan anak (al-tabanni atau adopsi)
Sebelumnya
ada syarat khusus ialah dimana seorang pewaris atau yang mewarisi adalah
laki-laki yang sudah dewasa. Selanjutnya barulah ketiga syarat tadi. Sedang
laki-laki yang belum dewasa dan belum biasa berperang tidak mendapatkan warisan. Bergitu pula perempuan, mereka sama
sekali tidak berhak mendapatkan harta warisan, bahkan mereka menjadi harta
warisan.
1. Pertalian
kerabat (al-qara>bah) atau nasab (keturunan)
Pertalian
kerabat disini adalah mereka laki laki dan kuat fisiknya. Pertimbangannya,
merekalah yang secara fisik kuat memanggul senjata, menghancurkan musuh demi
kehormatan suku dan marga mereka. Implikasinya, wanita dan anak anak tidak
mendapatkan bagian warisan. Karena keduanya tidak sanggup melakukan tugas
peperangan, dan dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Oleh karena
itu, kerabat yang dapat menerima warisan pada zaman jahiliyah adalah:
• Anak laki laki
• Saudara laki laki
• Paman
• Anak laki laki paman
Orang-orang
perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan pusaka. Bahkan orang-orang perempuan,
yaitu isteri ayah atau isteri saudara dijadikan harta pusaka.
Hal ini bisa
dilihat dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari : “Telah berceritera
kepada kami Muhammad bin Muqotil, telah berceritera kepada kami Asbath bin
Muhammad, telah berceritera kepada kami Asy-Syaibaniy, dari ikrimah, dari Ibnu
Abbas, Asy-Syaibaniy berkata dan disebut pula oleh Abul Hasan As-Suwa’iy dan
saya tidak menduganya ia menyebutkannya keculi dari Ibnu Abbas :
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu sekalian mewarisi
orang-orang perempuan dengan cara paksa”, ia berkata: Mereka itu dulu apabila
seorang lelaki mati, wali-wali dari si mati itulah yang lebih berhak atas
isteri si mati, apabila sebagian mereka menghendakinya, mereka mengawininya,
atau apabila mereka
menghendaki, mereka akan mengawinkannya atau tidak mengawinkannya. Mereka para
wali inilah yang lebih berhak atas
perempuan itu dari pada keluarga si perempuan itu sendiri karena itu tuunlah
ayat : “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal atas kamu sekalian mewarisi orang -orang perempuan
dengan Begitu pula hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Daud : “Telah
bercerita kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Tsabit Al-Marwazy, telah
berceritera kepada saya Aliy bin Husain, dari ayahnsecara ya, dari Yazid An-Najwiy,dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, berkata Tidak halal
bagi kamu sekalian mewarisi orang-orang perempuan dengan cara paksa dan
janganlah kamu mempersulit mereka karena hendak mengambil sebagian dari apa
yang telah engkau sekalian berikan kepada mereka, kecuali apabila mereka telah
melakukan perbuatan keji yang nyata. Hal tersebut adalah lantaran seorang
lelaki itu mewarisi isteri kerabatnya, kemudian si lelaki itu membuat susah
perempuan tersebut sampai ia mati atau ia mengembalikan maskawin yang dulu ia
terima. Kemudian Allah menetapkan ketentuan tersebut , artinya Allah melarang
perbuatan yang seperti itu.
Sedang dalam kaitannya dengan pengankatan anak,
masyarakat jahiliyah menyamakan anak hasil zina dengan anak kandung.
Hubungannya dinasabkan kepada ayah (zina)nya. Sehingga anak tersebut juga memiliki hak waris yang sama penuhnya dengan anak kandung.
2. Janji
prasetia (al-h}ilf wa al-mu’a>qadah)
Janji prasetia dijadikan dasar perjanjian dalam
masyarakat jahiliyah. Karena melalui perjanjian ini sendi-sendi kekuatan dan
“martabat” suku dapat dipertahankan. Janji prasetia dapat dilakukan oleh dua
orang atau lebih. Pelaksanaanya, seseorang berikrar kepada orang lain untuk
saling mewarisi apabila salah satu diantara mereka meninggal dunia. Tujuannya
ialah untuk kepentingan tolong menolong, nasihat-menasihati, dan mendapatkan rasa aman. Untuk itu hanya biasa dilakukan antara orang orang yang telah dewasa dan cakap melakukannya.
Inilah sumpah yang diikrarkan: “Darahku darahmu, pertumpahan darahku
pertumpahan darahmu, perangku perangmu, damaiku damaimu, kamu mempusakai
hartaku akupun mempusakai hartamu, kamu dituntut darahmu karena tindakanmu
terhadapku akupun dituntut darahku karena tindakanku padamu dan kamu diwajibkan
membayar denda sebagai pengganti nyawaku akupun diwajibkan membayar denda
sebagai pengganti dari nyawamu”
Adapun dalil
yang melegalkan hal ini, ialah dalam QS. surah An Nisa’ ayat 33:
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ
وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا
“Bagi setiap
harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat-kerabat, kami jadikan pewaris pewarisnya. Dan (jika ada) orang yang telah
berjanji Prasetia dengan kamu, maka berikanlah bagiannya ”
Namun, hal
ini hanya sebagian Ulama’ Hanafiyyah saja yang tetap memberlakukan ketentuan
hukum menurut isi ayat tersebut. Alasan yang dikemukakan, tidak ada ayat lain
yang menasakh atau menghapusnya, sehingga menurut kalangan mereka dapat
dilakukan sesuai ayat tersebut. Bagi yang janji prasetia akan mendapat 1/6 dari
harta peninggalan si mayyit. Seperti halnya pertalian kerabat, bahwa yang
berhak mewarisi adalah laki-laki yang kuat dan bisa melindungi. Bagi yang
terikat janji setia pun begitu.
3. Pengangkatan anak (al-tabanni atau
adopsi)
Dalam tradisi Jahiliyah, pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang
lazim. Status anak angkat disamakan kedudukannya dengan anak kandung. Caranya
seseorang mengambil anak laki laki orang lain untuk dipelihara dan dimasukkan
kedalam keluarga bapak angkatnya. Karena statusnya sama dengan anak kandung,
maka terjadi hubungan saling mewarisi jika salah satu meninggal dunia. Lebih
dari itu, hubungan kekeluargaannya terputus, dan oleh karenanya tidak bisa
mewarisi harta peninggalan harta ayah kandungnya8. Anak angkat bukan
saja status hukumnya sama dengan anak kandung, tetapi juga perlakuan,
pemeliharaan dan kasih sayang. Untuk selanjutnya pengangkatan anak ini masih
berlaku sampai masa awal-awal islam.
Adapun Menurut Rasyid Ridha menjelaskan bahwa pada zaman
pra-Islam, sebab-sebab terjadinya pewarisan itu ada tiga. Pertama, karena ada
hubungan nasab (al-nasab). Namun, hubungan nasab ini hanya dikhususkan buat
laki-laki dewasa yang bisa menunggang kuda, memerangi musuh, memperoleh harta
rampasan perang. Dengan demikian, anak laki-laki yang masih kecil dan kaum
perempuan tak mendapatkan bagian waris. Kedua, karena ada hubungan anak angkat
(al-tabanni). Anak angkat mendapatkan bagian waris pada zaman pra-Islam
sekalipun yang bersangkutan tak punya hubungan darah dengan ayah atau ibu
angkatnya. Ketiga, karena ada sumpah dan kesepakatan. Sekiranya seseorang
berkata kepada salah seorang temannya, “darahku, darahmu juga, hartaku adalah
hartamu juga, antara engkau dan aku saling mewarisi, kau bisa meminta kepadaku
dan aku pun bisa meminta kepadamu”. Jika mereka bersepakat, sekiranya salah
satu dari keduanya meninggal dunia, maka terjadi hubungan kewarisan di antara
mereka.
2. Kewarisan Pada Masa Islam
Dalam
kewarisan Islam, sebab-sebab adanya hak kewarisan ada tiga, yaitu; hubungan
kekerabatan, hubungan perkawinan dan hubungan karena sebab al-wala’
a. Hubungan kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang
yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran.
Kekerabatan merupakan sebab memperoleh hak mewarisi yang terkuat, karena
kekerabatan termasuk unsur kausalitas (sebab akibat) adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai) maka dapat
hilang.
Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah
firman Allah :
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَوَلِلنِّسَاءِ
نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَمِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ
كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
”Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (Q.S. An-Nisa’ : 7).
Demikian pula dalam surat al-Anfal ayat 75 :
وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ
بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوامَعَكُمْ فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ وَأُولُو الأرْحَامِ
بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian
berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu
(juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. Al-Anfal : 75).
b. Hubungan perkawinan
Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya
saling mewarisi adalah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan
rukunnya terpenuhi. Dalam hal ini, terpenuhinya rukun dan syarat secara agama.
Tentang syarat administrasi masih
terdapat perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di Indonesia, memberikan
kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan
bukan secara administrasi (hukum positif) tetapi ketentuan agama.
Di sebagian negara muslim, seperti Pakistan,
perkawinan yang tidak dicatat dapat dihukum penjara atau denda atau bahkan
kedua-duanya. Di Indonesia hendaknya ini menjadi
perhatian, karena perkawinan yang tidak terpenuhinya secara administrasi (hukum positif) akan dapat menimbulkan kemudaratan, seperti penyangkalan
terhadap suatu perkawinan karena tidak adanya bukti tertulis (secara
administratif).
Berkaitan dengan perkawinan yang menyebabkan
saling mewarisi adalah perkawinan yang masih utuh atau dianggap masih utuh.
Yang dimaksud dengan perkawinan yang dianggap masih utuh ialah apabila
perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai pertama dan kedua) dan masa
iddah raj’i bagi seorang isteri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap
masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak penuh merujuk isterinya tanpa
memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa
menghadirkan dua orang saksi dan wali. Sehingga isteri
yang sedang berada dalam masa iddah talak raj’i, apabila suaminya meninggal ia
berhak mewarisi harta suaminya. Demikian pula sebaliknya, suami berhak mewarisi harta isterinya.
c. Hubungan karena sebab al-wala’
Wala’ dalam pengertian syariat adalah ;
1.
Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak
emansipasi) budak.
2.
Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong
dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain. Wala’ yang pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah
(disebabkan karena adanya sebab telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan
budak disebut mu’tiq jika laki-laki dan mu’tiqah jika perempuan. Sedangkan
wala’ yang kedua disebut dengan walaul-muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat
kesediaan seseorang tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian.
Misalnya seseorang berkata kepada orang lain; wahai fulan engkau dapat mewarisi
hartaku bila aku telah mati dan dapat mengambil diyat (denda) untukku bila aku
dilukai seseorang, demikian pula aku dapat mewarisi hartamu dan mengambil diyat
karenamu. Kemudian orang lain tersebut menerima perjanjian itu. Pihak pertama
disebut al-mawali dan pihak kedua disebut al-mawala.
Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba
sahaya (budak) adalah 1/6 (seperenam) dari harta peninggalan.
Terhadap wala al-muwalah menurut jumhur ulama demikian pula Undang-undang
Kewarisan Mesir telah dinasakah melalui surat al-Anfal ayat 75 : “Orang-orang
yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”.
B. Tujuan Diturunkannya Ayat-Ayat Waris
Ayat-ayat
waris dalam al-Qur’an bertujuan :
-
Untuk membatalkan formula hubungan kewarisan yang ditetapkan Nabi Muhammad
sebelumnya. Ini seiring dengan makin besarnya jumlah keluarga muslim dalam periode
Madinah terakhir. Apalagi setelah terjadinya penaklukan kota Mekah. Sehingga
bisa diperkirakan tak ada lagi seorang muslim yang memiliki keluarga
non-muslim. Karena itu, ketentuan Nabi bahwa hubungan kewarisan diikat oleh
faktor hijrah dan persaudaraan sesama umat Islam sudah tak relevan. Setelah
ayat waris dalam al-Qur’an turun, maka muncul formula baru bahwa hubungan
kewarisan terjadi karena dua hal, yaitu hubungan nasab dan hubungan perkawinan.
-
Ayat waris turun untuk membatalkan hukum waris pra-Islam itu dianggap tidak
adil dan diskriminatif. Hukum waris pra-Islam itu harus dirombak dengan hukum
waris yang lebih berkeadilan dan berkemanusiaan. Anak laki-laki kecil
(al-shighar) dan perempuan yang pada mulanya tak mendapatkan warisan, pada
zaman Islam mendapatkan warisan. Jika suami meninggal dunia, seorang istri tadi boleh dicampakkan begitu saja. Si istri juga mendapatkan warisan, sebagaimana
ahli waris yang lain.
Untuk
menjaga dan mengadvokasi hak kelompok-kelompok lemah dalam keluarga saat itu
(anak laki-laki kecil dan perempuan), al-Qur’an segera menetapkan beberapa ahli
waris inti yang mendapatkan warisan. Ditetapkan bahwa kelompok ahli waris
terdiri dari dua kelompok. [1]. Menurut hubungan darah. Dari golongan laki-laki
terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
Sedangkan dari golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara
perempuan, dan nenek. [2]. menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau
janda. Para ulama, berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, menetapkan apabila semua
ahli waris ada, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya anak, ayah, ibu,
janda atau duda.
catatan:
ü Harta peninggalan sebelum dibagi sebagai harta waris
terlebih dahulu harus diselesaikan masalah hutang piutang pewaris (yang
meninggal) dan biaya pemakaman serta wasiat yang dibolehkan (bila ada).
Disamping itu bila si mayit meninggalkan istri (janda) atau suami (duda) dan
masih terikat perkawinan perlu dipisahkan lebih dahulu antara harta bawaan
(harta yang dipunyai sebelum menikah) dan harta bersama (harta yang diperoleh
setelah pernikahan atau harta gono-gini). Sesuai dengan hukum adat bahwa harta
bersama/gono-gini dibagi menjadi dua bagian, separuhnya adalah
milik suami dan separuhnya milik istri.
ü Jadi yang menjadi Harta warisan adalah harta
bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan
pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah(tajhis), pembayaran hutang dan pemberian kerabat (Pasal 171 butir
e KHI ).
ü Kerabat yang tidak memperoleh bagian waris, ANAK
ANGKAT atau ORANG TUA ANGKAT dapat memperoleh bagian sebagai HIBAH (ketika
pewaris masih hidup) atau sebagai WASIAT WAJIBAH, atau diberi bagian yang tidak
boleh lebih dari 1/3 harta warisan sesuai ketentuan pasal 194 s/d 214 KHI.
ü Para ahli
waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan,
setelah masing-masing menyadari bagiannya. (pasal 183)
ü Para ahli waris baik secara bersama-sama atau
perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk
melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan
melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan. (pasal
188)
BAB V
MUKAHAT DAN PERNIKAHAN
1. NIKAH
A. PENGERTIAN PERNIKAHAN
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda: “Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan muslim)
B. HUKUM PERNIKAHAN
a. Hukum Asal Nikah adalah Mubah
Menurut
sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan
boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan ditingkalkan tidak
berdosa. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah
dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram.
` b. Nikah yang Hukumnya Sunnah
` b. Nikah yang Hukumnya Sunnah
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa
pada prinsipnya nikah itu sunnah. Alasan yang mereka kemukakan bahwa perintah
nikah dalam berbagai Al Qur’an dan hadits hanya merupakan anjuran walaupun
banyak kata-kata amar dalam ayat dan hadits tersebut. Akan tetapi, bukanlah
amar yang berarti wajib sebab tidak semua amar harus wajib, kadangkala
menunjukkan sunnah bahkan suatu ketika hanya mubah. Adapun nikah hukumnya
sunnah bagi orang yang sudah mampu memberi nafkah dan berkehendak untuk nikah.
c. Nikah yang Hukumnya Wajib
Nikah menjadi wajib menurut pendapat sebagian ulama dengan alasan bahwa diberbagai ayat dan hadits sebagaimana tersebut diatas disebutkan wajib. Terutama berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang tidak mau melakukan sunnahku, maka tidaklah termasuk golonganku”.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab dan faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji dan buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.
Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu, sebab sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR. Al-Hakim dan Abu Daud)
d. Nikah yang Hukumnya Makruh
Hukum nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan perkawinan telah mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat, tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberi nafkah tanggungannya.
e. Nikah yang Hukumnya Haram
Nikah menjadi haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti perempuan yang dinikahinya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Barangsiapa yang tidak mampu menikah hendaklah dia puasa karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap prempuan akan berkurang”. (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Firman Allah di dalam Al-Qur’an:
Maka nikahilah wanita yang engkau senangi. (QS.An-Nisa/4:3)
c. Nikah yang Hukumnya Wajib
Nikah menjadi wajib menurut pendapat sebagian ulama dengan alasan bahwa diberbagai ayat dan hadits sebagaimana tersebut diatas disebutkan wajib. Terutama berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang tidak mau melakukan sunnahku, maka tidaklah termasuk golonganku”.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab dan faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji dan buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.
Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu, sebab sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR. Al-Hakim dan Abu Daud)
d. Nikah yang Hukumnya Makruh
Hukum nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan perkawinan telah mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat, tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberi nafkah tanggungannya.
e. Nikah yang Hukumnya Haram
Nikah menjadi haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti perempuan yang dinikahinya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Barangsiapa yang tidak mampu menikah hendaklah dia puasa karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap prempuan akan berkurang”. (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Firman Allah di dalam Al-Qur’an:
Maka nikahilah wanita yang engkau senangi. (QS.An-Nisa/4:3)
Dan
nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari
hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah
akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan kemampuan-Nya. Dan Allah
Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.
(QS.An-Nur/24:32)
“Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian1036 diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.(Q.S
An-Nur/24:32)
Berpijak dari firman Allah dan hadits sebagaimana tersebut di atas, maka bahwa dapat dijelaskan bahwa hukum menikah itu akan berubah sesuai dengan faktor dan sebab yang menyertainya. Dalam hal ini setiap mukalaf penting untuk mengetahuinya. Misalnya, orang-orang yang belum baligh, seorang pemabuk, atau sakit gila, maka dalam situasi dan kondisi semacam itu seseorang haram uinutuk menikah. Sebab, jikja mereja menikah dikhawatirkan hanya akan menimbulkan mudharat yang lebih besar pada orang lain.
Berpijak dari firman Allah dan hadits sebagaimana tersebut di atas, maka bahwa dapat dijelaskan bahwa hukum menikah itu akan berubah sesuai dengan faktor dan sebab yang menyertainya. Dalam hal ini setiap mukalaf penting untuk mengetahuinya. Misalnya, orang-orang yang belum baligh, seorang pemabuk, atau sakit gila, maka dalam situasi dan kondisi semacam itu seseorang haram uinutuk menikah. Sebab, jikja mereja menikah dikhawatirkan hanya akan menimbulkan mudharat yang lebih besar pada orang lain.
C. RUKUN DAN SYARATNYA PERNIKAHAN
Rukun pernikahan ada lima:
1. Mempelai laki-laki
syaratnya: bukan dari mahram dari calon istri, idak terpaksa, atas kemauan
sendiri, orangnya tertentu, jelas orangny,calon
suami, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar pria, tidak karena
terpaksa, bukan mahram (perempuan calon istri), tidak sedang ihram haji atau
umrah, dan usia sekurang-kurangnya 19 tahun.
2. Mempelai perempuan
syaratnya-syaratnya: tidak ada halangan syar’I yaitu tidak bersuami, bukan
mahram, tidak sedang dalam iddah, merdeka, atas kemauan sendiri, jelas
orangnya. Calon istri, syaratnya antara lain
beragama Islam, benar-benar perempuan, tidak karena terpaksa, halal bagi calon
suami, tidak bersuami, tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia
sekurang-kurangnya 16 tahun.
3. Wali (wali si perempuan) keterangannya adalah
sabda Nabi Saw:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل
“Barangsiapa diantara perempuan yang menikah dengan
tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal” (Riwayat Empat Ahli Hadis kecuali
Nasa’I)
Dan syarat-syaratnya: laki-laki, baligh, waras
akalnya, tidak dipaksa, adil.
d. Wali mempelai perempuan,
syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka
(tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Wali
inilah yang menikahkan mempelai perempuan atau mengizinkan pernikahannya.
Sabda Nabi Muhammad saw.:
Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersbda: “perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahan itu batal (tidak sah)”. (HR. Al-Arba’ah kecuali An-Nasa’i)
Mengenai susunan dan urutan yang menjadi wali adalah sebagai berikut:
1) Bapak kandung, bapak tiri tidak sah menjadi wali.
2) Kakek, yaitu bapak dari bapak mempelai perempuan.
3) Saudara laki-laki kandung.
4) Saudara laklaki sebapak.
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
7) Paman (saudara laki-laki bapak).
8) Anak laki-laki paman.
9) Hakim. Wali hakim berlaku apabila wali yang tersebut di atas semuanya tidak ada, sedang berhalangan, atau menyerahkan kewaliannya kepada hakim. .
e. Dua orang saksi, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi adalah tidak sah.
Sabda Nabi Muhammad saw.:
Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersbda: “perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahan itu batal (tidak sah)”. (HR. Al-Arba’ah kecuali An-Nasa’i)
Mengenai susunan dan urutan yang menjadi wali adalah sebagai berikut:
1) Bapak kandung, bapak tiri tidak sah menjadi wali.
2) Kakek, yaitu bapak dari bapak mempelai perempuan.
3) Saudara laki-laki kandung.
4) Saudara laklaki sebapak.
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
7) Paman (saudara laki-laki bapak).
8) Anak laki-laki paman.
9) Hakim. Wali hakim berlaku apabila wali yang tersebut di atas semuanya tidak ada, sedang berhalangan, atau menyerahkan kewaliannya kepada hakim. .
e. Dua orang saksi, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi adalah tidak sah.
Sabda Nabi Muhammad saw.:
Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ibnu Hiban)
Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ibnu Hiban)
4. Dua orang saksi
لا نكاح إلا بولي وشاهد عدل (رواه أحمد)
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dengan 2 saksi
yang adil” (HR. Ahmad)
Syarat-syaratnya: laki-laki, baligh, waras akalnya,
adil, dapat mendengar dan melihat, bebas (tidak dipaksa), memahami bahasa yang
digunakan ijab qabul.
5. Sighat (akad) yaitu perkataan dari pihak wali
perempuan, seperti kata wali “Saya nikahkan kamu dengan anak saya
bernama……………..” jawab mempelai laki-laki “Saya terima menikahi……………………”, boleh
juga didahului perkataan dari pihak mempelai seperti “Nikahkanlah saya dengan
anakmu” jawab wali “Saya nikahkan engkau dengan anak saya………………..” karena
maksudnya sama.
Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafadz nikah,
tazwij, atau terjemahan dari keduanya. Sabda Rasulullah Saw:
اتقوا الله في النساء فإنكم أخذتموهن بأمانة الله
واستحللتم فروجهن بكلمة الله (رواه مسلم)
“Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan,
sesungguhnya kamu ambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan
kehormatan mereka dengan kalimat Allah” (HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan
kalimat “kalimat Allah” dalam hadis ialah Al-Qur’an, dan dalam Al-Qur’an tidak
disebutkan selain dua kalimat itu (nikah dan tazwij) maka harus dituruti agar
tidak salah pendapat yang lain, asal lafadz akad tersebut ma’qul ma’na,
tidak semata-mata ta’abbudi.
4. Pernikahan yang Terlarang
Pernikahan yang terlarang aalah pernikahan yang di haramkan oleh agama Islam. Adapun penikahan yang terlarang adalah sebagai berikut:
a. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah pernikahan yang diniatkan dan diakadkan untuk sementara waktu saja (hanya untuk bersenang-senang), misalnya seminggu, satu bulan, atau dua bulan. Masa berlakunya pernikahan dinyatakan terbatas. Nikah mut’ah telah dilarang oleh rasulullah saw. sebagaimana dijelaskan dalam suatu hadits:
Dari Rabi’ bin Sabrah al-Juhani bahwasannya bapaknya meriwayatkan, ketika dia bersama rasulullah saw., beliau bersabda: “wahai sekalian manusia, dulu pernah aku izinkan kepada kamu sekalian perkawinan mut’ah, tetapi ketahuilah sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat”. (HR. Muslim)
b. Nikah Syigar
Nikah syigar adalah apabila seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya dengan tujuan agar seorang laki-laki lain menikahkan anak perempuannya kepada laki-laki (pertama) tanpa mas kawin (pertukaran anak perempuan). Perkawinan ini dilarang dengan sabda Rasulullah saw.
Dari Ibnu Umar ra., sesungguhnya Rasulullah saw. melarang perkawinan syigar. (HR. Muslim)
c. Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang tidak ditalak ba’in, dengan bermaksud pernikahan tersebut membuka jalan bagi mantan suami (pertama) untuk nikah kembali dengan bekas istrinya tersebut setelah cerai dan habis masa idah.
Dikatakan muhallil karena dianggap membuat halal bekas suami yang menalak ba’in untuk mengawini bekas istrinya. Pernikahan ini dilarang oleh rasulullah saw. dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud:
Dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw. melaknat muhallil (yang mengawini setelah ba’in) dan muhallil lalu (bekas suami pertama yang akan mengawini kembali). (HR. Al-Kamsah kecuali Nasai)
d. Kawin dengan pezina
Seorang laki-laki yang baik-baik tidak diperbolehkan (haram) mengawini perempuan pezina. Wanita pezina hanya diperbolehkan kawin dengan laki-laki pezina, kecuali kalau perempuan itu benar-benar bertobat.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an.
Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan Pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang mukmin. (QS. An-Nur/24:3)
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min” (Q.S An-Nur/24:3)
Akan tetapi, kalau perempuan pezina tersebut sudah bertobat, halallah perkawinan yang dilakukannya. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
Dari Abu Ubaidah bin abdullah dari ayahnya berkata: “Bersabda rasulullah saw.: Orang yang bertobat dari dosa tidak ada lagi dosa baginya.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan demikian, secara lahiriah perempuan pezina kalau benar-benar bertobat, maka dapat kawin dengan laki-laki yang bukan pezina (baik-baik).
Pernikahan yang terlarang aalah pernikahan yang di haramkan oleh agama Islam. Adapun penikahan yang terlarang adalah sebagai berikut:
a. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah pernikahan yang diniatkan dan diakadkan untuk sementara waktu saja (hanya untuk bersenang-senang), misalnya seminggu, satu bulan, atau dua bulan. Masa berlakunya pernikahan dinyatakan terbatas. Nikah mut’ah telah dilarang oleh rasulullah saw. sebagaimana dijelaskan dalam suatu hadits:
Dari Rabi’ bin Sabrah al-Juhani bahwasannya bapaknya meriwayatkan, ketika dia bersama rasulullah saw., beliau bersabda: “wahai sekalian manusia, dulu pernah aku izinkan kepada kamu sekalian perkawinan mut’ah, tetapi ketahuilah sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat”. (HR. Muslim)
b. Nikah Syigar
Nikah syigar adalah apabila seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya dengan tujuan agar seorang laki-laki lain menikahkan anak perempuannya kepada laki-laki (pertama) tanpa mas kawin (pertukaran anak perempuan). Perkawinan ini dilarang dengan sabda Rasulullah saw.
Dari Ibnu Umar ra., sesungguhnya Rasulullah saw. melarang perkawinan syigar. (HR. Muslim)
c. Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang tidak ditalak ba’in, dengan bermaksud pernikahan tersebut membuka jalan bagi mantan suami (pertama) untuk nikah kembali dengan bekas istrinya tersebut setelah cerai dan habis masa idah.
Dikatakan muhallil karena dianggap membuat halal bekas suami yang menalak ba’in untuk mengawini bekas istrinya. Pernikahan ini dilarang oleh rasulullah saw. dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud:
Dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw. melaknat muhallil (yang mengawini setelah ba’in) dan muhallil lalu (bekas suami pertama yang akan mengawini kembali). (HR. Al-Kamsah kecuali Nasai)
d. Kawin dengan pezina
Seorang laki-laki yang baik-baik tidak diperbolehkan (haram) mengawini perempuan pezina. Wanita pezina hanya diperbolehkan kawin dengan laki-laki pezina, kecuali kalau perempuan itu benar-benar bertobat.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an.
Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan Pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang mukmin. (QS. An-Nur/24:3)
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min” (Q.S An-Nur/24:3)
Akan tetapi, kalau perempuan pezina tersebut sudah bertobat, halallah perkawinan yang dilakukannya. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
Dari Abu Ubaidah bin abdullah dari ayahnya berkata: “Bersabda rasulullah saw.: Orang yang bertobat dari dosa tidak ada lagi dosa baginya.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan demikian, secara lahiriah perempuan pezina kalau benar-benar bertobat, maka dapat kawin dengan laki-laki yang bukan pezina (baik-baik).
D.
HIKMAH PERNIKAHAN
Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Ia merupukan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai pengaruh terhadap keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik menjadi syarat penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia pada umumnya.
Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan mulia. Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari kemungkinan jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara lain sebagai kesempurnaan ibadah, membina ketentraman hidup, menciptakan ketenangan batin, kelangsungan keturunan, terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain. Di bawah ini dikemukakan beberapa hikmah pernikahan.
1. Pernikahan Dapat Menciptakan Kasih Sayang dan ketentraman
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan rohaniah sudah pasti memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Kenutuhan jasmaniah perlu dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian. Ada kebutuhan pria yang pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga sebaliknya. Pernikahan merupakan lembaga yang dapat menghindarkan kegelisahan. Pernikahan merupakan lembaga yang ampuh untuk membina ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang keluarga.
Allah berfirman:
Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah dia meniptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terhadap tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir (QS. Ar-Rum/30:21)
2. Pernikahan Dapat Melahirkan keturunan yang Baik
Setiap orang menginginkan keturunan yang baik dan shaleh. Anak yang shaleh adalah idaman semua orang tua. Selain sebagai penerus keturunan, anak yang shaleh akan selalu mendoakan orang tuanya.
Rasulullah saw. bersabda:
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw., bersabda: “Apabila telah mati manusia cucu Adam, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim)
3. Dengan Pernikahan, Agama Dapat Terpelihara
Menikahi perempuan yang shaleh, bahtera kehidupan rumah tangga akan baik. Pelaksanaan ajaran agama terutama dalam kehidupan berkeluarga, berjalan dengan teratur. Rasulullah saw. memberikan penghargaan yang tinggi kepada istri yang shaleh. Mempunyai istri yang shaleh, berarti Allah menolong suaminya melaksanakan setengah dari urusan agamnya. Beliau bersabda:
Dari Anas bin malik ra., Rasulullah saw., bersabda: “Barang siapa dianugerahkan Allah Istri yang shalehah, maka sungguh Allah telah menolong separuh agamanya, maka hendaklah ia memelihara separuh yang tersisa”. (HR. At-Thabrani)
4. Pernikahan dapat Memelihara Ketinggian martabat Seorang Wanita
Wanita adalah teman hidup yang paling baik, karena itu tidak boleh dijadikan mainan. Wanita harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya.
Pernikahan merupakan cara untuk memperlakukan wanita secara baik dan terhormat. Sesudah menikah, keduanya harus memperlakukan dan menggauli pasangannya secara baik dan terhormat pula.
Firman Allah dalam Al-Qur’an:
Dan bergaulah dengan mereka menurut cara yang patut. (QS. An-Nisa/4:19)
Karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki sebagai piarannya. (QS. An-Nisa/4:25)
5. Pernikahan Dapat Menjauhkan Perzinahan
Setiap orang, baik pria maupun wanita, secara naluriah memiliki nafsu seksual. Nafsu ini memerlukan penyaluran dengan baik. Saluran yang baik, sehat, dan sah adalah melalui pernikahan. Jika nafsu birahi besar, tetapi tidak mau nikah dan tetap mencari penyaluran yang tidak sehat, dan melanggar aturan agama, maka akan terjerumus ke lembah perzinahan atau pelacuran yang dilarang keras oleh agama.
Firman Allah dalam Surah Al-isra ayat 32:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra/17:32)
Jelasnya, hikmah pernikahan itu adalah sebagai berikut:
Menciptakan struktur sosial yang jelas dan adil.
Dengan nikah, akan terangkat status dan derajat kaum wanita.
Dengan nikah akan tercipta regenerasi secara sah dan terhormat.
Dengan nikah agama akan terpelihara.
Dengan pernikahan terjadilah keturunan yang mampu memakmuram bumi.
Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Ia merupukan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai pengaruh terhadap keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik menjadi syarat penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia pada umumnya.
Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan mulia. Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari kemungkinan jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara lain sebagai kesempurnaan ibadah, membina ketentraman hidup, menciptakan ketenangan batin, kelangsungan keturunan, terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain. Di bawah ini dikemukakan beberapa hikmah pernikahan.
1. Pernikahan Dapat Menciptakan Kasih Sayang dan ketentraman
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan rohaniah sudah pasti memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Kenutuhan jasmaniah perlu dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian. Ada kebutuhan pria yang pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga sebaliknya. Pernikahan merupakan lembaga yang dapat menghindarkan kegelisahan. Pernikahan merupakan lembaga yang ampuh untuk membina ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang keluarga.
Allah berfirman:
Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah dia meniptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terhadap tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir (QS. Ar-Rum/30:21)
2. Pernikahan Dapat Melahirkan keturunan yang Baik
Setiap orang menginginkan keturunan yang baik dan shaleh. Anak yang shaleh adalah idaman semua orang tua. Selain sebagai penerus keturunan, anak yang shaleh akan selalu mendoakan orang tuanya.
Rasulullah saw. bersabda:
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw., bersabda: “Apabila telah mati manusia cucu Adam, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim)
3. Dengan Pernikahan, Agama Dapat Terpelihara
Menikahi perempuan yang shaleh, bahtera kehidupan rumah tangga akan baik. Pelaksanaan ajaran agama terutama dalam kehidupan berkeluarga, berjalan dengan teratur. Rasulullah saw. memberikan penghargaan yang tinggi kepada istri yang shaleh. Mempunyai istri yang shaleh, berarti Allah menolong suaminya melaksanakan setengah dari urusan agamnya. Beliau bersabda:
Dari Anas bin malik ra., Rasulullah saw., bersabda: “Barang siapa dianugerahkan Allah Istri yang shalehah, maka sungguh Allah telah menolong separuh agamanya, maka hendaklah ia memelihara separuh yang tersisa”. (HR. At-Thabrani)
4. Pernikahan dapat Memelihara Ketinggian martabat Seorang Wanita
Wanita adalah teman hidup yang paling baik, karena itu tidak boleh dijadikan mainan. Wanita harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya.
Pernikahan merupakan cara untuk memperlakukan wanita secara baik dan terhormat. Sesudah menikah, keduanya harus memperlakukan dan menggauli pasangannya secara baik dan terhormat pula.
Firman Allah dalam Al-Qur’an:
Dan bergaulah dengan mereka menurut cara yang patut. (QS. An-Nisa/4:19)
Karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki sebagai piarannya. (QS. An-Nisa/4:25)
5. Pernikahan Dapat Menjauhkan Perzinahan
Setiap orang, baik pria maupun wanita, secara naluriah memiliki nafsu seksual. Nafsu ini memerlukan penyaluran dengan baik. Saluran yang baik, sehat, dan sah adalah melalui pernikahan. Jika nafsu birahi besar, tetapi tidak mau nikah dan tetap mencari penyaluran yang tidak sehat, dan melanggar aturan agama, maka akan terjerumus ke lembah perzinahan atau pelacuran yang dilarang keras oleh agama.
Firman Allah dalam Surah Al-isra ayat 32:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra/17:32)
Jelasnya, hikmah pernikahan itu adalah sebagai berikut:
Menciptakan struktur sosial yang jelas dan adil.
Dengan nikah, akan terangkat status dan derajat kaum wanita.
Dengan nikah akan tercipta regenerasi secara sah dan terhormat.
Dengan nikah agama akan terpelihara.
Dengan pernikahan terjadilah keturunan yang mampu memakmuram bumi.
E.
HUKUM NIKAH
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya :
Ø Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
Ø Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
Ø Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang mengharamkan menikah.
Ø Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya.
Ø Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.
F.
TUJUAN NIKAH
Tujuan Nikah ditinjau dari:
TUJUAN FISIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang memadai.
3. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
TUJUAN FISIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang memadai.
3. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
TUJUAN PSIKOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
3. Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya.
4. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
3. Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya.
4. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.
TUJUAN SOSIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Lingkungan pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga.
2. Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Lingkungan pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga.
2. Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.
TUJUAN DA’WAH
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Menjadi obyek wajib da’wah pertama bagi sang da’i.
2. Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat muslim dan nonmuslim.
3. Setiap anggota keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam da’wah.
4. Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Menjadi obyek wajib da’wah pertama bagi sang da’i.
2. Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat muslim dan nonmuslim.
3. Setiap anggota keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam da’wah.
4. Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan
Islam
tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan
dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan
maslahat bagi pelaksananya :
1.
Sarana pemenuh kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21)
2. Sarana menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3. Sarana menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl : 72)
2. Sarana menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3. Sarana menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl : 72)
Rasulullah
berkata : “Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak. Sesungguhnya saya
akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi)
4. Sarana untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum)
4. Sarana untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum)
G. PELAKSANAAN PERNIKAHAN (AKAD NIKAH)
PENGERTIAN AKAD NIKAH
secara bahasa : akad = membuat simpul, perjajian, kesepakatan; akad nikah mengawinkan
wanita.
secara syar’i : Ikrar seorang pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita
lewat perantara walinya, dengan tujuan
a) hidup bersama membina rumah tangga sesuai sunnah Rasulullah saw.
b) memperoleh ketenangan jiwa.
c) menyalurkan syahwat dengan cara yang halal
d) melahirkan keturunan yang sah dan shalih.
H. RUKUN DAN SYARAT
SAH NIKAH
Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :
1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
a) Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Mumtahanah : 9.
b) Bukan mahrom dari calon isteri.
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
a) Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Mumtahanah : 9.
b) Bukan mahrom dari calon isteri.
c)
Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
3.
Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita adalah :
a) Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b) Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari calon suami).
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
4. Adanya wali.
Syarat mempelai wanita adalah :
a) Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b) Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari calon suami).
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
4. Adanya wali.
Syarat wali adalah :
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Tidak dipaksa.
d) Tidaksedang melaksanakan ibadah haji.
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Tidak dipaksa.
d) Tidaksedang melaksanakan ibadah haji.
Tingkatan
dan urutan wali adalah sebagai berikut:
a) Ayah
b) Kakek
c) Saudara laki-laki sekandung
d) Saudara laki-laki seayah
e) Anak laki-laki dari saudara laki – laki sekandung
f) Anak laki-laki dari saudara laki – laki seayah
g) Paman sekandung
h) Paman seayah
a) Ayah
b) Kakek
c) Saudara laki-laki sekandung
d) Saudara laki-laki seayah
e) Anak laki-laki dari saudara laki – laki sekandung
f) Anak laki-laki dari saudara laki – laki seayah
g) Paman sekandung
h) Paman seayah
i)
Anak laki-laki dari paman sekandung
j) Anak laki-laki dari paman seayah.
k) Hakim
j) Anak laki-laki dari paman seayah.
k) Hakim
5. Adanya saksi (2 orang pria).
Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah
Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat
akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Dapat mendengar dan melihat.
d) Tidak dipaksa.
e) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
b) ‘Adil
c) Dapat mendengar dan melihat.
d) Tidak dipaksa.
e) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
6.
Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :
Beberapa ketentuan tentang mahar :
a)
Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari
seorang suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah.
Lihat QS. An Nisaa’ : 4.
b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik mertua.
c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan pernah pula
b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik mertua.
c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan pernah pula
2.
TALAK
A. Pengertian Talak
Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata
ini adalah derivat dari kata الْإِطْلَاق “ithlaq”,
yang berarti melepas atau meninggalkan.
Secara syar’i, talak berarti melepaskan ikatan
perkawinan.
Dalil
Dibolehkannya Talak
Allah Ta’ala berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak
(yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”
(QS. Al Baqarah: 229)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)”
(QS. Ath Tholaq: 1)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau
pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di
masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu menanyakan
masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
bersabda,
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ، ثُمَّ
لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ تَطْهُرَ ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ
أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ
الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Hendaklah
ia meruju' istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian
haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia
boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al 'iddah
sebagaimana yang telah diperintahkan Allah 'azza wajalla.”
Ibnu Qudamah Al Maqdisi menyatakan bahwa para ulama
sepakat (berijma’) akan dibolehkannya talak. ‘Ibroh juga
menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam rumah tangga mungkin saja
pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa mafsadat. Yang terjadi ketika
itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak kunjung henti. Karena
masalah inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut diputus
dengan talak demi menghilangkan mafsadat.
Kritik
Hadits
Adapun hadits yang berbunyi,
أَبْغَضُ
الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ
“Perkara
yang paling dibenci Allah Ta’ala adalah talak.”Dalam
sanad hadits ini ada dua ‘illah (cacat):
(1) dho’ifnya Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah, (2) terjadi perselisihan di
dalamnya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ahmad bin Yunus … Abu Daud
menyebutnya tanpa menyebutkan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sanad hadits
dari Al Hakim dinilaidho’if.
Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits yang dho’if.
Di antara yang mendho’ifkannya adalah Al Baihaqi, Syaikh Al Albani, dan Syaikh
Musthofa Al ‘Adawi.
B.
Hukum Talak
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan,
“Talak boleh jadi ada yang haram, ada yang makruh, ada yang wajib, ada yang
sunnah dan ada yang boleh.”
Rincian hukum talak di atas adalah sebagai berikut:
Pertama,
talak yang haram yaitu
talak bid’i (bid’ah) dan memiliki beberapa bentuk.
Kedua,
talak yang makruh yaitu
talak yang tanpa sebab apa-apa, padahal masih bisa jika pernikahan yang ada
diteruskan.
Ketiga,
talak yang wajib yaitu talak yang di antara bentuknya adalah adanya perpecahan
(yang tidak mungkin lagi untuk bersatu atau meneruskan pernikahan).
Keempat,
talak yang sunnah yaitu talak yang disebabkan karena si istri tidak memiliki
sifat ‘afifah (menjaga
kehormatan diri) dan istri tidak lagi memperhatikan perkara-perkara yang wajib
dalam agama (seperti tidak memperhatikan shalat lima waktu), saat itu ia pun
sulit diperingatkan.
Kelima,
talak yang hukumnya boleh yaitu talak ketika butuh di saat istri berakhlaq dan
bertingkah laku jelek dan mendapat efek negatif jika terus dengannya tanpa bisa
meraih tujuan dari menikah.
1. Talak Sunni dan Talak Bid’i
Talak dipandang dari aspek sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan syara’ terbagi pada dua bagian; a. Talak sunni dan b. Talak bid’i. Ulama’ fikih beraneka ragam dalam menstandari batasan-batasan talak sunni dan bid’i.
Kalangan Hanafiyah membagi talak kedalam tiga bagian, yaitu: a. Talak ahsan b. Talak hasan dan c. Talak bid’i.
Talak ahsan adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dengan talak satu, pada masa suci dan tidak disetubuhi pada waktu sucinya serta ia membiarkan (tidak mentalak lagi) pada istrinya sampai iddahnya berakhir dengan tiga kali haid. Talak hasan adalah talak yang dilakukan suami pada istrinya dengan talak tiga, dalam waktu tiga kali suci dan disetiap masa suci dilakukan talak satu. Sedangkan Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dengan talak tiga, atau talak dua dengan memakai satu kalimat, atau ia mentalak tiga dalam satu masa suci.
Sedangkan kalangan Malikiyah dalam mengkatagorikan talak sunni atau bid’i dengan memberi syarat-syarat tertentu. Ada empat syarat talak dapat dikategorikan talak sunni:
a. Perempuan pada waktu ditalak suci dari haid dan nifas,
b. Suami tidak menjima’nya pada waktu,
c. Suami mentalak satu,
d. Suami tidak mentalak istrinya yang kedua kali sampai masa ‘iddahnya berakhir.
Dan menurut mereka, talak bid’i adalah talak yang tidak memenuhi satu syarat atau seluruhnya. Misalnya : seorang suami mentalak istrinya lebih dari satu, atau ia mentalak istrinya pada masa haid atau nifas, atau pada masa suci tetapi dicampurinya dalam masa suci itu. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa suami yang mentalak bid’i pada isrinya ia dipaksa untuk rujuk kembai sampai masa iddah yang terakhir. Namun jika ia tidak mau untuk merujuknya, Hakim boleh mengancam untuk menahannya, dan manakala ia tetap enggan untuk merujuknya ia boleh dipukul, dan bila ia tetap bersikeras dalam keengganannya, seorang Hakim berhak memaksa untuk merujuknya.
Sementara kalangan Syafi’iyah membagi talak pada tiga bagian dengan istilah yang sedikit berbeda dengan kalangan Hanafiyah. Tiga bagian itu adalah :
a. Talak sunni, b. Talak bid’i, dan c. Talak bukan sunni dan bukan bid’i (talak qhairu bid’I wa la- sunni).
Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan pada istri dengan talak satu pada masa suci dan tidak dicampuri pada masa sucinya serta tidak dicampuri pula pada masa haid sebelumya, dan bila suami ingin mentalak istrinya dengan talak tiga ia menjatuhkan talak satu disetiap masa suci.
Berkenaan dengan talak bid’i terbagi menjadi dua macam:
a. Talak yang dijatuhkan pada masa haid yang dicampuri pada masa haidnya, sebab syara’ memerintahkan untuk mentalak istri pada masa suci, dan juga membuat mudharat pad istri dengan lamanya menjalani masa iddah.
b. Talak yang dijatuhkan pada istri dalam masa suci tetapi telah dicampuri pada masa suci itu.
Talak dipandang dari aspek sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan syara’ terbagi pada dua bagian; a. Talak sunni dan b. Talak bid’i. Ulama’ fikih beraneka ragam dalam menstandari batasan-batasan talak sunni dan bid’i.
Kalangan Hanafiyah membagi talak kedalam tiga bagian, yaitu: a. Talak ahsan b. Talak hasan dan c. Talak bid’i.
Talak ahsan adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dengan talak satu, pada masa suci dan tidak disetubuhi pada waktu sucinya serta ia membiarkan (tidak mentalak lagi) pada istrinya sampai iddahnya berakhir dengan tiga kali haid. Talak hasan adalah talak yang dilakukan suami pada istrinya dengan talak tiga, dalam waktu tiga kali suci dan disetiap masa suci dilakukan talak satu. Sedangkan Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dengan talak tiga, atau talak dua dengan memakai satu kalimat, atau ia mentalak tiga dalam satu masa suci.
Sedangkan kalangan Malikiyah dalam mengkatagorikan talak sunni atau bid’i dengan memberi syarat-syarat tertentu. Ada empat syarat talak dapat dikategorikan talak sunni:
a. Perempuan pada waktu ditalak suci dari haid dan nifas,
b. Suami tidak menjima’nya pada waktu,
c. Suami mentalak satu,
d. Suami tidak mentalak istrinya yang kedua kali sampai masa ‘iddahnya berakhir.
Dan menurut mereka, talak bid’i adalah talak yang tidak memenuhi satu syarat atau seluruhnya. Misalnya : seorang suami mentalak istrinya lebih dari satu, atau ia mentalak istrinya pada masa haid atau nifas, atau pada masa suci tetapi dicampurinya dalam masa suci itu. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa suami yang mentalak bid’i pada isrinya ia dipaksa untuk rujuk kembai sampai masa iddah yang terakhir. Namun jika ia tidak mau untuk merujuknya, Hakim boleh mengancam untuk menahannya, dan manakala ia tetap enggan untuk merujuknya ia boleh dipukul, dan bila ia tetap bersikeras dalam keengganannya, seorang Hakim berhak memaksa untuk merujuknya.
Sementara kalangan Syafi’iyah membagi talak pada tiga bagian dengan istilah yang sedikit berbeda dengan kalangan Hanafiyah. Tiga bagian itu adalah :
a. Talak sunni, b. Talak bid’i, dan c. Talak bukan sunni dan bukan bid’i (talak qhairu bid’I wa la- sunni).
Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan pada istri dengan talak satu pada masa suci dan tidak dicampuri pada masa sucinya serta tidak dicampuri pula pada masa haid sebelumya, dan bila suami ingin mentalak istrinya dengan talak tiga ia menjatuhkan talak satu disetiap masa suci.
Berkenaan dengan talak bid’i terbagi menjadi dua macam:
a. Talak yang dijatuhkan pada masa haid yang dicampuri pada masa haidnya, sebab syara’ memerintahkan untuk mentalak istri pada masa suci, dan juga membuat mudharat pad istri dengan lamanya menjalani masa iddah.
b. Talak yang dijatuhkan pada istri dalam masa suci tetapi telah dicampuri pada masa suci itu.
Macam talak yang terakhir, yaitu talak qhiru bid’i
wa la-sunni hanya terjadi bagi istri yang masih kacil, perempuan monopause,
istri yang berkhulu’, istri yang hamil dan kehamilannya dipastikan hasil
hubungan dengan suaminya, dan istri yang belum pernah didukhul.
Sementara kalangan Hanabilah memberi pengertian talak sunni adalah talak yang suami menjatuhkan talak satu pada istrinya yang tidak disetubuhi pada masa sucinya itu kemudian ia tidak mentalaknya lagi sampai masa ‘iddahnya berakhir. Sedangkan talak bid’i adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dalam masa haid atau nifas, atau masa suci tetapi ia telah mendukhulnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam -fikih Indonesia- lebih cendrung mengikuti pendapat mayoritas Ulama’ selain Hanafiyah, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 121 dan 122.
Pasal 121: Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122: Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
2. Talak Raj’i dan Talak Ba’in
Talak ditilik dari boleh dan tidak bolehnya rujuk terbagi pada dua macam :
a. Talak raj’i, dan b. Talak ba’in.
Talak raj’i adalah talak yang boleh bagi suami untuk merujuk pada istrinya dengan tanpa perlu akad baru selama masa ‘iddah, meskipun istri tidak mau untuk dirujuk. Talak raj’i ini terjadi dalam talak satu dan dua tetapi setelah masa ‘iddah istri sudah habis, suami tidak dapat merujuk kembali melainkan dengan akad baru.
Talak ba’in ada dua macam:
a. Ba’in shughraa (ba’in kecil)
b. Ba’in kubraa (ba’in besar)
Talak ba’in shughraa adalah talak yang suami tidak dapat untuk rujuk kembali pada mantan istrinya, melainkan dengan akad dan mahar baru. Talak ba’in shughraa terjadi bagi istri yang belum didukhul, istri yang berkhuluk dengan menyerahkan ‘iwad (ganti rugi), talak yang dijatuhkan oleh Hakim, dan talak sebab ila’.
Talak ba’in kubraa adalah talak yang suami tidak boleh untuk merujuk kembali kepada istri kecuali bila istri telah kawin lagi dengan orang lain dan telah dicampurinya, kemudian ia ditalak dan telah berakhir ‘iddahnya dari suami yang kedua. Talak macam ini terjadi dalam talak tiga
3. IDDAH
Sementara kalangan Hanabilah memberi pengertian talak sunni adalah talak yang suami menjatuhkan talak satu pada istrinya yang tidak disetubuhi pada masa sucinya itu kemudian ia tidak mentalaknya lagi sampai masa ‘iddahnya berakhir. Sedangkan talak bid’i adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dalam masa haid atau nifas, atau masa suci tetapi ia telah mendukhulnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam -fikih Indonesia- lebih cendrung mengikuti pendapat mayoritas Ulama’ selain Hanafiyah, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 121 dan 122.
Pasal 121: Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122: Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
2. Talak Raj’i dan Talak Ba’in
Talak ditilik dari boleh dan tidak bolehnya rujuk terbagi pada dua macam :
a. Talak raj’i, dan b. Talak ba’in.
Talak raj’i adalah talak yang boleh bagi suami untuk merujuk pada istrinya dengan tanpa perlu akad baru selama masa ‘iddah, meskipun istri tidak mau untuk dirujuk. Talak raj’i ini terjadi dalam talak satu dan dua tetapi setelah masa ‘iddah istri sudah habis, suami tidak dapat merujuk kembali melainkan dengan akad baru.
Talak ba’in ada dua macam:
a. Ba’in shughraa (ba’in kecil)
b. Ba’in kubraa (ba’in besar)
Talak ba’in shughraa adalah talak yang suami tidak dapat untuk rujuk kembali pada mantan istrinya, melainkan dengan akad dan mahar baru. Talak ba’in shughraa terjadi bagi istri yang belum didukhul, istri yang berkhuluk dengan menyerahkan ‘iwad (ganti rugi), talak yang dijatuhkan oleh Hakim, dan talak sebab ila’.
Talak ba’in kubraa adalah talak yang suami tidak boleh untuk merujuk kembali kepada istri kecuali bila istri telah kawin lagi dengan orang lain dan telah dicampurinya, kemudian ia ditalak dan telah berakhir ‘iddahnya dari suami yang kedua. Talak macam ini terjadi dalam talak tiga
3. IDDAH
A. Pengertian Iddah
Menurut bahasa, kata iddah
berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak (perhitungan), seorang wanita
yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haidh atau masa suci.
Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di
mana seorang wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan
mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran
bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang
sudah ditentukan.
B. Macam-Macam Masa Iddah
Barangsiapa yang ditinggal mati
suaminya, maka, iddahnya empat bulan sepuluh hari, baik sang isteri sudah
dicampuri ataupun belum. Hal ini mengacu pada firman Allah SWT, ”Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah :234).
Terkecuali isteri yang sudah
dicampuri dan sedang hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan,”Dan
wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka
melahirkan kandungannya.” (At-Thalaq : 4).
Dari al-Miswar bin Makhramah
bahwa, Subai’ah al-Aslamiyah r.a. pernah melahirkan dan bernifas setelah
beberapa malam kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi saw lantar meminta
idzin kepada Beliau untuk kawin (lagi). Kemudian Beliau mengizinkannya, lalu ia
segera menikah (lagi). (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:470 no:5320 dan
Muslim II:1122 no:1485).
Wanita yang ditalak sebelum
sempat dicampuri, maka tidak ada masa iddah baginya, berdasarkan pada firmannya
Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman,
’apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka
iddah bagimu yang kamu minta, menyempurnakannya.” (Al-Ahzaab:49).
Sedang wanita yang ditalak yang
sebelumnya sempat dikumpuli dan dalam keadaan hamil maka, masa iddahnya ialah
ia melahirkan anak yang diakndungnya. Allah SWT berfirman, ”Dan
wanita-wanita hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan
kandungannya.” (At-Thalaq:4).
Dari az-Zubair bin al-Awwam
r.a. bahwa ia mempunyai isteri bernama Ummu Kultsum bin ’Uqbah radhiyallahu
’anha. Kemudian Ummu Kultsum yang sedang hamil berkata kepadanya, ”Tenanglah
jiwaku (dengan dijatuhi talak satu).” Maka az-Zubir pun menjatuhkan padanya
talak satu. Lalu dia keluar pergi mengerjakan shalat, sekembalinya (dari
shalat) ternyata isterinya sudah melahirkan. Kemudian az-Zubir berkata:
”Gerangan apakah yang menyebabkan ia menipuku, semoga Allah menipunya (juga).”
Kemudian dia datang kepada Nabi saw lalu beliau bersabda kepadanya, ”Kitabullah
sudah menetapkan waktunya; lamarlah (lagi) di kepada dirinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1546 dan Ibnu Majah I:653 no:2026).
Jika wanita yang dijatuhi talak
termasuk perempuan yang masih berhaidh secara normal, maka masa iddahnya tiga
kali haidh berdasarkan Firman Allah SWT, ”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan
diri (menunggu tiga kali quru’).”. (Al-Baqarah :228).
Kata quru’ berarti haidh. Hal
ini mengacu pada hadits Aisyah r.a. bahwa Ummu
Habibah r.a. sering mengeluarkan darah istihadhah(darah yang keluar dari wanita
karena sakit atau lainnya), lalu dia bertanya kepada Nabi saw. (mengenai hal
tersebut). Maka Beliau menyuruh meninggalkan shalat pada hari-hari haidhnya.
(Shahih Lighairih: Shahih Abu Daud no:252 dan ’Aunul Ma’bud I:463 no:278).
Jika wanita yang dijatuhi talak
itu masih kecil, belum mengeluarkan darah hadih atau sudah lanjut usia yang
sudah manopause (berhenti masa haidh), maka iddahnya adalah tiga bulan lamanya.
Allah swt berfirman, ”Dan perempuan-perempuan yang
tidak haidh lagi (manopause) diantara isteri-isteri kaian jika ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan. Begitu
pula perempuan-perempuan yang belum haidh.” (At-Thalaq:4)
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahannya, Departemen Agama RI,
1986/1987.
Muhammad
Ramdan, dkk. (2003). Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruann Tinggi, Garut :
Penerbit -
Ensikklopedia
Islam, Jakarta Penerbit PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, Cet. 3.
Modul
Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter, Jakarta : Penerbit PT
RajaGrafindo Persada Syafe’i Imam, Ruswanto, Rodliyah nunung dkk, 2012.
Abdul Ghani
Abdullah, Pengantar Komopilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia Jakarta,
Gema Insani Press, 1994.
Dahlan
Idhamy, Karakteristik Hukum Islam, Jakarta, Media Sarana Press, 1987.
Departemen
Agama RI, Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta :
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2001. Hamdan Mansoer, dkk, Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam, Jakarta Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 2004.
Hasby
Asy-Shidiqiy, Falsafah Hukum Islam, Yogyakarta Bulan Bintang 1975.
· Ilyas, Muhtarom. Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2009
Pramudya,
Willy, Cak Munir, Engkau Tak Pernah Pergi, Jakarta: GagasMedia 2004.
Prof Ali,
Mohammad Daud, SH : Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
2005.
Miftah Faridl,
As-Sunnah Sumber Hukum Islam, Bandung: Pustaka, 2001 Harun Nasution, Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 2002
Abdullah, sulaiman. 1995. Sumber Hukum
Islam. Jambi : Sinar Grafika.
Abdurachman, Asmuni. 1985. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka setia.
Qattan, Manna’. 1973 . Mabahits Fi Ulumil Qur’an. Riyadh : Mansyuratul ‘Asril Hadits.
Abdurachman, Asmuni. 1985. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka setia.
Qattan, Manna’. 1973 . Mabahits Fi Ulumil Qur’an. Riyadh : Mansyuratul ‘Asril Hadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar